Sebuah kejutan hidupku dimulai semasa SMA. Hari itu, saat aku sedang duduk termenung sendirian meratapi kehidupan di ruang kelas di waktu jam istirahat, salah satu teman sekelasku sedang membahas kartun jepang bersama satu orang lainnya. Kalau tidak salah, judulnya Kimi No Nawa. Mereka mengupas dari segi plot cerita, grafik yang indah dan menawan serta lagu yang mengisi soundtrack dari film tersebut. Aku yang seorang pemuda pesimistis dan memiliki keterbatasan fisik mulai bertanya pada diriku sendiri.
“Bisakah diriku yang memiliki kekurangan fisik berinteraksi dengan orang normal ?.”
“Bagaimana jadinya jika mereka menolak kehadiranku ?.”
“Jawaban apa yang harus aku siapkan saat mereka memberikan pertanyaan klise seputar fisik ?.” dan masih banyak pikiran-pikiran menyebalkan lainnya dalam isi kepalaku. Jadi, agar mengurangi beban pikiran, aku memutuskan untuk menguping terlebih dahulu dengan saksama sembari mengumpulkan keberanian. Karena jarak aku dengan kedua temanku yang mengobrol itu cukup dekat yaitu hanya dua baris meja ke belakang, jadi aku bisa mendengar obrolan mereka dengan cukup baik. Saat mereka sedang membicarakan adegan di mana Taki dan Mitsuha bertemu kembali di puncak gunung serta saling menuliskan nama mereka di tangan masing-masing sebelum matahari terbenam, aku tanpa sengaja ikut nimbrung obrolan mereka.
“Ah, kalau tidak salah setelah matahari terbenam, ingatan mereka tiba-tiba hilang, ya?”
Pembukaan obrolan itu bagaikan mengubah atmosfer seisi ruang kelas. Mengoreksi. Atmosfernya memang berubah. Karena di ruang kelas saat itu, terdiri dari beberapa orang saja. Aku, kedua teman cowok kelasku yang sedang mengobrol kartun jepang, dan empat teman cewek kelasku yang obrolannya itu termasuk berat bagiku. Yaitu, percintaan. Terlihat kontradiksi memang, padahal film Kimi No Nawa termasuk genre romance tapi aku malah mengerti ceritanya seperti apa. Mau bagaimana lagi ?. Ke enam teman kelasku dengan kompak mengalihkan perhatiannya ke arahku. Aku yang tidak suka jadi pusat perhatian merasa kebingungan melihat mereka.
“Aduh, seharusnya tadi tidak usah join obrolan sih,” batinku. Dengan reflek, aku menundukan kepala ke bawah meja.
“Gawat, rasanya mau pulang,” gumamku. Saat aku masih menggerutu, tiba-tiba terdengar suara hentakan kaki yang berjalan mengarah ke tempat aku duduk.
“Pergi sana, pergi sana, pergi sana,” kataku dalam hati. Kata-kata tersebut bagaikan mantra ajaib milik seorang penyihir untuk mengusir para musuhnya. Tapi di situasi ini sepertinya mantra tersebut tidak bekerja dengan baik.
“Eh, lu nonton Kimi No Nawa juga ?,” sapa salah satu temanku. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku dari meja secara perlahan. Kedua mata kami bertemu. Kalau tidak salah, di kelas kami, dia dipanggil Pace.
“Iya...” ucapku lirih.
“Sini dong kumpul,” ajak Pace.
“Iya, nanti.” balasku
“Nama lu siapa ?.” tanya Pace
“Rama.”
“Ok, kita sudah jadi teman ya.” kata Pace dan tiba-tiba menunjuk ke salah satu pemuda yang sedari tadi mengobrol dengannya.
“Nama dia David atau bisa dipanggil koh David.” tambahnya.
Aku hanya mengangguk kecil yang menandakan sudah mengerti ucapannya. Dengan momen langka ini, secara otomatis, aku terpikirkan ingin memanfaatkan momen ini dengan baik. Dengan cara bergegas keluar dari zona nyamanku yaitu kursiku.
“Eh, lu mau ke mana ?,” tanya Pace kebingungan saat melihatku bangkit dari kursi.
“Ke tempat kokoh dong,” jawabku sambil semangat.
Momen ini adalah momen pertamaku mendapatkan teman semasa SMA. Aku berjalan terlebih dahulu mendahului Pace dan duduk dihadapan koh David. Setelahnya, Pace menyusul dan duduk di sebelah koh David. Obrolan yang tadi dilanjutkan kembali dengan pembukaan dari komentar Pace,“Sumpah, adegan itu sedih banget.”
Aku mengingat di suatu artikel, di situ dijelaskan beberapa fakta dari film Kimi No Nawa. Salah satunya adalah tangga legendaris yang mempertemukan kembali Taki dan Mitsuha setelah dewasa.
“Iya, benar. Kalian tahu tidak kalau di adegan terakhir film Kimi No Nawa, tangga yang jadi pertemuan kembali setelah Taki dan Mitsuha selamat dari meteor ternyata ada di dunia nyata ?” tanyaku. Kedua teman baruku memberi respon yang berbeda. Kokoh menjawab dengan datar sedangkan Pace menjawab dengan antusias.
“Engga.”
“Oh, serius ? Coba koh pinjam hp lu.” Dengan santainya, kokoh memberikan ponselnya tanpa ada rasa curiga.
“Kata kuncinya apa?” tanya Pace.
“Tangga Kuil Suga.”
Tanpa pikir panjang, temanku yang antusias ini mencari tempat yang kumaksud di google maps. Jemari si Pace mengalun di atas layar ponsel dengan cekatan lalu tiba-tiba dia menyodorkan ponsel ke arahku.
“Yang ini ?.” tanyanya.
Aku mengangguk dengan melibatkan perasaan senang karena ternyata ingatanku benar. Kemudian kami bertiga berkerumun di satu titik di atas meja yang menampilkan hasil pencarian dari layar ponsel. Kami bertiga saling takjub dan menikmati keindahan lingkungan tersebut.
“Kapan ya, aku bisa kesana? Suasananya begitu indah, deh,” ujar Pace.
“Bisa saja saat kita dewasa, kita bertiga bisa pergi ke jepang,” jawab koh David.
Dalam imajinasiku, tidak ada gambaran yang jelas kalau suatu saat nanti ketika kami bertiga sudah dewasa akan bisa pergi ke jepang. Meski begitu, aku tidak mengemukakan pendapatku agar tidak merusak suasana.
“Mau cari apa lagi, nih?” saranku. “Daerah sekitar sini mungkin bagus”
Mereka terlihat berpikir dan mempertimbangkan pendapatku. Sebelum mencapai kesepakatan, tiba-tiba ada satu orang yang memberikan usulan. Kalau tidak salah nama dia itu Ahmad. Anehnya, dari mana dia datang ?.
“Eh, coba deh, cari gerai pulsa punyaku.” katanya. Entah kenapa, kami bertiga sepakat satu sama lain menerima usulan pemuda ini. Dan secara tidak sadar, temanku di kelas ini bertambah menjadi tiga.

Sejujurnya, Aku terkejut. Saat aku pertama kali masuk SMA, aku berekspektasi kalau aku harus mendapatkan teman minimal satu dan maksimal satu. Tapi kenyataannya berkata lain. Pikiran negatif dari kepalaku juga tidak terbukti. Benar-benar di luar ekspektasi. Kami berempat saling menikmati keindahan suatu tempat walau dari balik layar ponsel sampai waktu istirahat berakhir.

Tentang penulis: Ramadhani Sahri adalah penyandang disabilitas fisik berumur dua puluh satu tahun. Rama saat ini berdomisili di Jakarta.

Membangun Dunia Kerja yang Inklusif

Ketenagakerjaan inklusif kini menjadi perhatian utama di Indonesia. Dengan meningkatnya kesadaran dan dukungan kebijakan pemerintah, semakin banyak organisasi yang menyadari bahwa mempekerjakan penyandang disabilitas bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga langkah strategis bisnis.
Tempat kerja yang inklusif menciptakan inovasi, produktivitas, dan rasa kebersamaan yang lebih kuat.

Berikut lima fakta penting tentang bagaimana inklusi disabilitas membentuk masa depan dunia kerja di Indonesia.

1. Kuota 1% untuk Perusahaan Swasta

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perusahaan swasta dengan lebih dari 100 karyawan wajib menyediakan setidaknya 1% posisi kerja bagi penyandang disabilitas.
Kebijakan ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap keberagaman dan kesetaraan di tempat kerja.

2. Kuota 2% untuk Instansi Pemerintah dan BUMN

Instansi pemerintah dan BUMN memiliki tanggung jawab lebih besar — mereka wajib membuka minimal 2% formasi pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Kebijakan ini menegaskan bahwa sektor publik harus menjadi teladan dalam mewujudkan dunia kerja yang setara dan inklusif.

3. Karyawan Disabilitas Terbukti Produktif dan Loyal

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan disabilitas memiliki tingkat produktivitas dan loyalitas yang sama — bahkan lebih tinggi dibandingkan rekan nondisabilitas.
Ketangguhan, etos kerja, dan kemampuan beradaptasi yang kuat menjadikan mereka aset berharga bagi organisasi inklusif.4. Proses Wawancara Bisa Lebih Fleksibel

Inklusi dimulai sejak proses rekrutmen. Wawancara kerja dapat dilakukan dalam berbagai format — tertulis, video, atau dengan pendamping — sebagai bentuk reasonable accommodation.
Fleksibilitas ini memastikan setiap kandidat memiliki kesempatan yang adil untuk menampilkan kemampuan terbaiknya.

5. Karier untuk Semua

Penyandang disabilitas kini memiliki peluang berkarier di berbagai sektor, mulai dari perhotelan dan desain hingga analisis data dan teknologi informasi.
Hal ini membuktikan bahwa kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh keterbatasan, melainkan oleh kesempatan yang diberikan.

Menuju Masa Depan yang Lebih Inklusif

Ketenagakerjaan inklusif bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga strategi untuk membangun tempat kerja yang kuat, empatik, dan berkelanjutan.
Dengan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas, perusahaan dapat meningkatkan inovasi sekaligus memperkuat dampak sosialnya.

Mari bersama-sama menciptakan masa depan di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk tumbuh, berkontribusi, dan berprestasi.

Hai Sobat DNetwork! 👋

Pernah dengar istilah aksesibilitas di tempat kerja? Nah, persoalan aksesibilitas ini bukan cuma soal membangun jalur kursi roda atau menyediakan teknologi bantu, tapi tentang menciptakan lingkungan kerja yang adil, nyaman, dan mendukung semua orang—termasuk pekerja penyandang disabilitas.
Tentunya masih banyak perusahaan yang berpikir kalau menyediakan aksesibilitas itu “ribet” atau “biaya tambahan”. Padahal kenyataannya, ada banyak sekali keuntungan yang bisa dirasakan perusahaan kalau serius menerapkan aksesibilitas. Yuk, kita bahas satu per satu!

✨ 1. Kinerja lebih maksimal
Ketika pekerja penyandang disabilitas diberi akses yang memadai—entah itu teknologi bantu, ruang kerja ramah akses, atau prosedur yang inklusif—mereka bisa menunjukkan performa terbaik. Hasil kerja jadi maksimal dan target perusahaan tetap tercapai. Potensi mereka tidak kalah dengan pekerja lain, hanya perlu akses yang setara.

✨ 2. Tim kerja lebih beragam dan kreatif
Dengan adanya akses, pekerja disabilitas bisa berkontribusi penuh. Artinya, perusahaan punya tim kerja yang lebih beragam, dengan sudut pandang berbeda yang memperkaya ide-ide. Keberagaman ini justru membuat perusahaan lebih adaptif dan inovatif dalam menghadapi tantangan bisnis.

✨ 3. Patuh hukum dan hindari cap diskriminasi
Menyediakan aksesibilitas juga berarti perusahaan mematuhi undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku. Selain itu, perusahaan tidak akan dicap sebagai tempat kerja yang diskriminatif. Jadi, ini bukan hanya langkah etis, tapi juga langkah legal yang tepat.

✨ 4. Reputasi sebagai perusahaan inklusif
Di era sekarang, reputasi sangat penting. Perusahaan yang inklusi punya citra positif di mata publik. Masyarakat, mitra, hingga calon karyawan akan melihat perusahaan tersebut sebagai tempat yang ramah, modern, dan peduli pada keadilan.

✨ 5. Lebih memahami konsumen
Faktanya, penyandang disabilitas juga adalah konsumen, pelanggan, atau bahkan pengguna layanan perusahaan kita. Dengan menyediakan aksesibilitas di internal, perusahaan sekaligus belajar memahami kebutuhan konsumen. Hasilnya, layanan dan produk bisa lebih relevan dan ramah bagi semua kalangan.

✨ 6. Budaya empati dan saling menghargai
Perusahaan inklusi biasanya punya tingkat empati tinggi karena terbiasa menghargai perbedaan. Budaya kerja pun jadi lebih sehat: tim saling mendukung, menghargai, dan loyalitas karyawan meningkat.

Jadi, Sobat DNetwork, menyediakan aksesibilitas itu bukan beban, tapi investasi jangka panjang. Perusahaan yang inklusi akan tumbuh lebih kuat, lebih kreatif, dan punya daya saing tinggi.
👉 Yuk, mulai sekarang kita dukung aksesibilitas di tempat kerja. Karena semua orang berhak punya kesempatan yang sama untuk berkembang.

Mari bergabung bersama DNetwork agar Perusahaan Sobat Inklusi melalui program edukasi dari DNetwork.

 

Hai Sobat DNetwork!

Yuk, Cek! Apakah Rekrutmen di Tempatmu Sudah Bebas dari Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas?

Inklusi kini jadi topik hangat di dunia kerja. Banyak perusahaan sudah mulai membuka peluang bagi penyandang disabilitas. Tapi… sudahkah proses rekrutmen yang kita lakukan benar-benar inklusif dan adil?

Tanpa disadari, ada praktik-praktik yang ternyata masih menyulitkan bahkan mendiskriminasi pelamar kerja penyandang disabilitas.

Semoga hal tersebut tidak terjadi di Perusahaan sobat. Melalui Artikel ini –kita akan sharing khususnya kepada sobat yang bekerja di bidang SDM, rekrutmen, atau manajemen perusahaan agar lebih memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang sering terjadi, sekaligus bagaimana cara memperbaikinya.

Lalu apa saja distriminatif yang sering terjadi?

1. Informasi Lowongan Tidak Aksesibel

Ketika mengakses konten lowongan, Penyandang disabilitas sering kesulitan mengakses informasi lowongan tersebut karena kontennya tidak dirancang untuk semua orang.
Misalnya:

  • Teks hanya berupa gambar yang tidak bisa dibaca oleh pembaca layar
  • Tidak ada subtitle atau transkrip untuk video lowongan
  • Situs rekrutmen sulit diakses oleh pengguna alat bantu mobilitas atau pengguna keyboard saja

Akibatnya, banyak calon kandidat tidak bisa mengakses informasi dasar tentang pekerjaan yang mereka minati.

  • Solusi yang dapat sobat lakukan:
    Pastikan format konten bisa diakses oleh Penyandang Disabilitas dengan teknologi bantu yang mereka gunakan
  • Gunakan bahasa yang jelas dan tidak bertele-tele
  • Sediakan deskripsi alternatif untuk gambar dan teks transkrip untuk video/audio
  • Yang paling penting sobat bisa diskusikan dengan Penyandang Disabilitas dan mencobakan konten lowongan yang akan di share untuk memastikan informasi tersebut bisa diakses

2. Lowongan Hanya Terbuka untuk Disabilitas Tertentu

Kadang ada konten lowongan yang menyertakan Kalimat seperti “hanya untuk disabilitas Fisik ringan” atau “tidak menerima pelamar Tuli” adalah bentuk eksklusi yang bisa menutup peluang orang-orang yang sebenarnya mampu dan cocok dengan posisi tersebut.

Setiap individu memiliki kombinasi kemampuan unik. Jenis disabilitas tidak otomatis menentukan apakah seseorang mampu atau tidak menjalankan pekerjaan tertentu.

Solusi:

  • Fokus pada tugas dan tanggung jawab pekerjaan, bukan pada batasan jenis disabilitas
  • Gunakan kalimat seperti: “Terbuka untuk semua pelamar, termasuk penyandang disabilitas. Akomodasi akan disediakan jika diperlukan.”
  • Kita bisa Diskusi dengan Penyandang Disabilitas atau Komunitas Disabilitas untuk lis skill dan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh setiap ragam Disabilitas

3. Menyortir Kandidat Berdasarkan Tingkat Disabilitas (Sebelum Wawancara)

Kadang ada proses seleksi menyortir kandidat hanya dari informasi disabilitas di CV atau form aplikasi. Misalnya, kandidat dianggap "tidak layak" hanya karena menggunakan kursi roda, memiliki hambatan pendengaran, atau hambatan bicara, tanpa melihat keahlian dan pengalaman kerjanya.

Ini bentuk diskriminasi berdasarkan asumsi, bukan penilaian objektif.

Solusi:

  • Nilai pelamar berdasarkan kompetensi dan pengalaman kerja
  • Wawancarai terlebih dahulu sebelum menarik kesimpulan
  • Berikan tes keterampilan untuk mengukur kemampuan, bukan sekadar melihat kondisi

4. Tidak Memberikan Kesempatan untuk Diskusi Akomodasi

Kadang tidak terfikir untuk membuka ruang dialog soal kebutuhan akomodasi. Sering kali asumsi langsung menganggap proses rekrutmen “sulit” bila pelamar menyandang disabilitas. Padahal banyak penyandang disabilitas tahu persis apa yang mereka butuhkan, dan solusinya seringkali sederhana!

Contoh: Teman Tuli mungkin hanya butuh media tulisan saat wawancara. Atau seseorang dengan disabilitas Fisik mungkin hanya butuh ruangan yang bisa diakses kursi roda.

Solusi:

  • Tanyakan sejak awal: “Apakah ada dukungan atau penyesuaian yang kami bisa sediakan?”
  • Libatkan pelamar dalam percakapan terkait kebutuhan mereka
  • Jadikan akomodasi sebagai bagian dari proses, bukan pengecualian

5. Memberikan Alasan Penolakan karena Disabilitas

Saat ini Masih banyak pelamar Disabilitas yang mendapat penolakan dengan alasan seperti:
"Karena kondisi disabilitas Anda, kami tidak dapat melanjutkan proses."
Ini bentuk diskriminasi eksplisit yang tidak dibenarkan dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan.

Penolakan seharusnya berdasarkan hasil tes atau kecocokan kompetensi, bukan kondisi pribadi.

Solusi:

  • Berikan alasan objektif jika pelamar tidak lolos
  • Hindari menyebut disabilitas sebagai penyebab utama penolakan
  • Gunakan bahasa yang sopan dan membangun

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan Mulai dari Sekarang?

  • Audit ulang proses rekrutmen: dari konten, format, hingga cara komunikasi
  • Latih tim HR tentang inklusi dan bias tidak sadar (unconscious bias.
  • Pastikan semua kandidat bisa mengakses informasi dan proses seleksi
  • Bangun budaya kerja yang mendukung keberagaman dan keterbukaan
  • Libatkan penyandang disabilitas dalam merancang proses yang lebih adil


Yuk, pastikan proses rekrutmen yang kamu jalankan tidak menutup peluang siapa pun hanya karena mereka berbeda.

Karena dunia kerja yang sehat dan kuat dibangun oleh keberagaman kemampuan, perspektif, dan latar belakang.

Agar Rekrutmen di Prusahaan sobat inklusi, yuk bergabung bersama DNetwork untuk mengikuti program edukasi kami.