Hidup dalam ketidaksempurnaan membuat diri lebih awal mengenai dengan istilah berdamai dengan diri sendiri, namun siapakah aku? dan siapakah sosok yang menjadi inspirasiku? Inilah ceritaku...
Aku seorang penyandang tuna daksa, sejak kecil aku merasa percaya diri bahwa bagaimanapun kondisi fisikku, aku sama dengan teman-temanku hingga waktunya tiba di mana aku sekolah di pendidikan formal sekolah dasar, aku merasa malu karena dibully oleh teman-temanku.
Di lingkungan baru tidak hanya satu atau lebih dari dua orang yang melihatku sinis, bahkan sampai memperbincangkan kekuranganku.
Mereka pun sering mengejekku sebagai manusia hina dan hal tersebut sering membuatku merasa sedih dan terpuruk.
Aku menyadari bahwa aku diciptakan berbeda dengan ketidaksempurnaan. Aku terlahir sebagai penyandang tuna daksa. Ketidakmampuan salah satu anggota tubuhku untuk melaksanakan fungsinya menjadikan aku berbeda.
Aku pun tumbuh sebagai manusia yang berbeda, aku terus mempercayai bahwa Tuhan telah merancang takdir terbaik-Nya untukku.
Bertahun-tahun aku mencoba berdamai hingga aku menuntaskan pendidikan hingga lulus sebagai seorang sarjana.
Sosok yang sangat aku idolakan hingga sampai saat ini bagaikan lentera dalam hidupku yaitu kedua orang tuaku.
Mereka alasanku tetap berdiri tegak ditengah badai kehidupan yang berkali-kali menghantamku. Mereka alasanku tersenyum dan tetap kuat bertahan menjalani kehidupan yang tentunya tidak mudah bagiku.
Pengorbanan mereka yang sangat luar biasa dalam hidupku sehingga rasanya malu, jika aku memilih untuk menyerah.
Aku masih mengingat tiga tahun lalu, tepatnya di tahun 2019. Aku terus berusaha dengan keyakinanku akan lulus tepat waktu. Aku pun telah menuliskan di halaman persembahan skripsiku, aku khususkan terimakasih kepada kedua orangtuaku.
Terimakasih telah mendukung dan mendidik ku dengan sangat demokratis. Terimakasih telah memberikanku kesempatan untuk berproses dalam dunia pendidikan hingga aku mendapatkan gelar sarjana.
Memasuki dunia kerja yang tak mudah bagi penyandang disabilitas, karena dalam kualifikasi harus sehat jasmani dan rohani. Namun, tak ada kata menyerah bagiku.
Selalu ada secercah harapan akan ada pekerjaan untuk penyandang disabilitas sepertiku.
Usaha yang terus aku kerahkan sekuat tenaga dalam mencari pekerjaan hingga akhirnya aku menjadi tutor privat dan aku pun mendapat kesempatan menjadi seorang penulis.
Terus memberdayakan diri untuk terus berproses dan bertumbuh menjadi orang yang bernilai, hingga kedua orang tuaku kini merasa bangga atas pencapaianku.
Sebagai idola dalam hidupku, kedua orang tuaku selalu memberikan petuah dan contoh bahwa hidup ini keras, maka jika memilih tidak berjuang hanya akan ada rasa penyesalan nantinya.
Kedua orangtuaku pun tidak pernah memaksaku untuk meneruskan jejak mereka.
Justru mereka membebaskanku untuk memilih dan bertanggungjawab atas hidupku.
Jatuh bangun kehidupan terus menghampiri kehidupanku terutama dalam dunia kerja. Namun, pada saat aku merasa berada di titik terendah, aku selalu ingat kata-kata kedua orangtuaku, bahwa sebenarnya aku kuat dari apa yang aku lihat, aku pintar dari apa yang aku pikirkan, dan aku lebih berani dari apa yang aku yakini.
Tak sedikit orang yang memandangku sebelah mata, ketika aku memilih meniti karir menjadi seorang penulis, karena bagi orang-orang di sekelilingku menjadi sukses harus menjadi seorang ASN.
Aku pun terus melaju dengan keyakinanku, bahwa sukses bukan berarti harus mengikuti standar orang lain. Sukses itu ketika kita mengetahui kemampuan akan diri sendiri, terus berusaha dan berproses hingga tak ada kata menyerah untuk tetap memberdayakan diri.
Bertumbuh menjadi diri sendiri hingga menjadi manusia yang bernilai memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, terutama bagi penyandang disabilitas. Namun, tidak akan pernah ada kata sia-sia bagi setiap orang yang terus berusaha.
Bahkan aku selalu menegaskan kepada diriku sendiri, tak apa tidak sempurna tak apa selalu dipandang sebelah mata. Namun, harus ingat kekuatan dan keyakinan semua ada pada diri sendiri. Jika kamu berpikir kuat dan yakin, jiwa ragamu juga akan demikian.
Orang-orang boleh saja memandang remeh impianku. Boleh saja tidak percaya bahwa aku mampu mencapai yang aku impikan. Namun jangan sampai aku mengikuti kata-kata;mereka untuk meremehkan diri sendiri.
Maka dari itu, aku belajar dengan sungguh, tidak ada orang hebat di dunia ini tanpa proses yang panjang dan tanpa kerja keras.
Bahkan seorang penyandang disabilitas yang dianggap tidak mampu, suatu ketika bisa menjadi orang yang berpengaruh selama dia mau memberdayakan diri dan melatih kemampuannya.
Setiap kehidupan memiliki pilihan dan mengukir sejarah hidup yang bermakna tidak hanya menunggu mengubah nasib. Namun berusaha dan berjuang mengubah nasib. Karena harus diingat meskipun sebagai seorang penyandang disabilitas, hidup ini tetap pilihan.
Aku pun belajar dari ayahku bahwa menjadi berbeda itu tak apa, asalkan dapat bermanfaat. Bahkan ayahku selalu mengingatkan agar tidak setengah-setengah dalam berproses.
Seperti ayahku seorang seniman yang pandai melukis, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjadi pelukis. Aku pun demikian terus berproses dan bertumbuh menjadi seorang penulis.
Menulis seperti duniaku, di mana tak ada lagi yang bisa meremehkan atau memandangku sebelah mata, ketika aku menuangkan ide dan imajinasiku dalam tulisan, hingga pada akhirnya karya-karya yang telah aku buat seolah dapat berbicara.
Secercah harapan dalam diri akan mengubah dunia, langkah kecil dengan diiringi tekad akan menjadikan seseorang tahu seberapa besar potensi dalam dirinya.
Jangan pernah malu menjadi diri sendiri, teruslah yakin untuk bertumbuh karena suatu saat nanti setiap proses yang telah dilalui akan menjadi cerita panjang yang bermakna.
Tentang penulis: Desy Puspitasari adalah penyandang disabilitas fisik dari Ponorogo, Jawa Timur.