Membangun Dunia Kerja yang Inklusif

Ketenagakerjaan inklusif kini menjadi perhatian utama di Indonesia. Dengan meningkatnya kesadaran dan dukungan kebijakan pemerintah, semakin banyak organisasi yang menyadari bahwa mempekerjakan penyandang disabilitas bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga langkah strategis bisnis.
Tempat kerja yang inklusif menciptakan inovasi, produktivitas, dan rasa kebersamaan yang lebih kuat.

Berikut lima fakta penting tentang bagaimana inklusi disabilitas membentuk masa depan dunia kerja di Indonesia.

1. Kuota 1% untuk Perusahaan Swasta

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perusahaan swasta dengan lebih dari 100 karyawan wajib menyediakan setidaknya 1% posisi kerja bagi penyandang disabilitas.
Kebijakan ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap keberagaman dan kesetaraan di tempat kerja.

2. Kuota 2% untuk Instansi Pemerintah dan BUMN

Instansi pemerintah dan BUMN memiliki tanggung jawab lebih besar — mereka wajib membuka minimal 2% formasi pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Kebijakan ini menegaskan bahwa sektor publik harus menjadi teladan dalam mewujudkan dunia kerja yang setara dan inklusif.

3. Karyawan Disabilitas Terbukti Produktif dan Loyal

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan disabilitas memiliki tingkat produktivitas dan loyalitas yang sama — bahkan lebih tinggi dibandingkan rekan nondisabilitas.
Ketangguhan, etos kerja, dan kemampuan beradaptasi yang kuat menjadikan mereka aset berharga bagi organisasi inklusif.4. Proses Wawancara Bisa Lebih Fleksibel

Inklusi dimulai sejak proses rekrutmen. Wawancara kerja dapat dilakukan dalam berbagai format — tertulis, video, atau dengan pendamping — sebagai bentuk reasonable accommodation.
Fleksibilitas ini memastikan setiap kandidat memiliki kesempatan yang adil untuk menampilkan kemampuan terbaiknya.

5. Karier untuk Semua

Penyandang disabilitas kini memiliki peluang berkarier di berbagai sektor, mulai dari perhotelan dan desain hingga analisis data dan teknologi informasi.
Hal ini membuktikan bahwa kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh keterbatasan, melainkan oleh kesempatan yang diberikan.

Menuju Masa Depan yang Lebih Inklusif

Ketenagakerjaan inklusif bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga strategi untuk membangun tempat kerja yang kuat, empatik, dan berkelanjutan.
Dengan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas, perusahaan dapat meningkatkan inovasi sekaligus memperkuat dampak sosialnya.

Mari bersama-sama menciptakan masa depan di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk tumbuh, berkontribusi, dan berprestasi.

Hai Sobat DNetwork! 👋

Pernah dengar istilah aksesibilitas di tempat kerja? Nah, persoalan aksesibilitas ini bukan cuma soal membangun jalur kursi roda atau menyediakan teknologi bantu, tapi tentang menciptakan lingkungan kerja yang adil, nyaman, dan mendukung semua orang—termasuk pekerja penyandang disabilitas.
Tentunya masih banyak perusahaan yang berpikir kalau menyediakan aksesibilitas itu “ribet” atau “biaya tambahan”. Padahal kenyataannya, ada banyak sekali keuntungan yang bisa dirasakan perusahaan kalau serius menerapkan aksesibilitas. Yuk, kita bahas satu per satu!

✨ 1. Kinerja lebih maksimal
Ketika pekerja penyandang disabilitas diberi akses yang memadai—entah itu teknologi bantu, ruang kerja ramah akses, atau prosedur yang inklusif—mereka bisa menunjukkan performa terbaik. Hasil kerja jadi maksimal dan target perusahaan tetap tercapai. Potensi mereka tidak kalah dengan pekerja lain, hanya perlu akses yang setara.

✨ 2. Tim kerja lebih beragam dan kreatif
Dengan adanya akses, pekerja disabilitas bisa berkontribusi penuh. Artinya, perusahaan punya tim kerja yang lebih beragam, dengan sudut pandang berbeda yang memperkaya ide-ide. Keberagaman ini justru membuat perusahaan lebih adaptif dan inovatif dalam menghadapi tantangan bisnis.

✨ 3. Patuh hukum dan hindari cap diskriminasi
Menyediakan aksesibilitas juga berarti perusahaan mematuhi undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku. Selain itu, perusahaan tidak akan dicap sebagai tempat kerja yang diskriminatif. Jadi, ini bukan hanya langkah etis, tapi juga langkah legal yang tepat.

✨ 4. Reputasi sebagai perusahaan inklusif
Di era sekarang, reputasi sangat penting. Perusahaan yang inklusi punya citra positif di mata publik. Masyarakat, mitra, hingga calon karyawan akan melihat perusahaan tersebut sebagai tempat yang ramah, modern, dan peduli pada keadilan.

✨ 5. Lebih memahami konsumen
Faktanya, penyandang disabilitas juga adalah konsumen, pelanggan, atau bahkan pengguna layanan perusahaan kita. Dengan menyediakan aksesibilitas di internal, perusahaan sekaligus belajar memahami kebutuhan konsumen. Hasilnya, layanan dan produk bisa lebih relevan dan ramah bagi semua kalangan.

✨ 6. Budaya empati dan saling menghargai
Perusahaan inklusi biasanya punya tingkat empati tinggi karena terbiasa menghargai perbedaan. Budaya kerja pun jadi lebih sehat: tim saling mendukung, menghargai, dan loyalitas karyawan meningkat.

Jadi, Sobat DNetwork, menyediakan aksesibilitas itu bukan beban, tapi investasi jangka panjang. Perusahaan yang inklusi akan tumbuh lebih kuat, lebih kreatif, dan punya daya saing tinggi.
👉 Yuk, mulai sekarang kita dukung aksesibilitas di tempat kerja. Karena semua orang berhak punya kesempatan yang sama untuk berkembang.

Mari bergabung bersama DNetwork agar Perusahaan Sobat Inklusi melalui program edukasi dari DNetwork.

 

Hai Sobat DNetwork!

Yuk, Cek! Apakah Rekrutmen di Tempatmu Sudah Bebas dari Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas?

Inklusi kini jadi topik hangat di dunia kerja. Banyak perusahaan sudah mulai membuka peluang bagi penyandang disabilitas. Tapi… sudahkah proses rekrutmen yang kita lakukan benar-benar inklusif dan adil?

Tanpa disadari, ada praktik-praktik yang ternyata masih menyulitkan bahkan mendiskriminasi pelamar kerja penyandang disabilitas.

Semoga hal tersebut tidak terjadi di Perusahaan sobat. Melalui Artikel ini –kita akan sharing khususnya kepada sobat yang bekerja di bidang SDM, rekrutmen, atau manajemen perusahaan agar lebih memahami bentuk-bentuk diskriminasi yang sering terjadi, sekaligus bagaimana cara memperbaikinya.

Lalu apa saja distriminatif yang sering terjadi?

1. Informasi Lowongan Tidak Aksesibel

Ketika mengakses konten lowongan, Penyandang disabilitas sering kesulitan mengakses informasi lowongan tersebut karena kontennya tidak dirancang untuk semua orang.
Misalnya:

  • Teks hanya berupa gambar yang tidak bisa dibaca oleh pembaca layar
  • Tidak ada subtitle atau transkrip untuk video lowongan
  • Situs rekrutmen sulit diakses oleh pengguna alat bantu mobilitas atau pengguna keyboard saja

Akibatnya, banyak calon kandidat tidak bisa mengakses informasi dasar tentang pekerjaan yang mereka minati.

  • Solusi yang dapat sobat lakukan:
    Pastikan format konten bisa diakses oleh Penyandang Disabilitas dengan teknologi bantu yang mereka gunakan
  • Gunakan bahasa yang jelas dan tidak bertele-tele
  • Sediakan deskripsi alternatif untuk gambar dan teks transkrip untuk video/audio
  • Yang paling penting sobat bisa diskusikan dengan Penyandang Disabilitas dan mencobakan konten lowongan yang akan di share untuk memastikan informasi tersebut bisa diakses

2. Lowongan Hanya Terbuka untuk Disabilitas Tertentu

Kadang ada konten lowongan yang menyertakan Kalimat seperti “hanya untuk disabilitas Fisik ringan” atau “tidak menerima pelamar Tuli” adalah bentuk eksklusi yang bisa menutup peluang orang-orang yang sebenarnya mampu dan cocok dengan posisi tersebut.

Setiap individu memiliki kombinasi kemampuan unik. Jenis disabilitas tidak otomatis menentukan apakah seseorang mampu atau tidak menjalankan pekerjaan tertentu.

Solusi:

  • Fokus pada tugas dan tanggung jawab pekerjaan, bukan pada batasan jenis disabilitas
  • Gunakan kalimat seperti: “Terbuka untuk semua pelamar, termasuk penyandang disabilitas. Akomodasi akan disediakan jika diperlukan.”
  • Kita bisa Diskusi dengan Penyandang Disabilitas atau Komunitas Disabilitas untuk lis skill dan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh setiap ragam Disabilitas

3. Menyortir Kandidat Berdasarkan Tingkat Disabilitas (Sebelum Wawancara)

Kadang ada proses seleksi menyortir kandidat hanya dari informasi disabilitas di CV atau form aplikasi. Misalnya, kandidat dianggap "tidak layak" hanya karena menggunakan kursi roda, memiliki hambatan pendengaran, atau hambatan bicara, tanpa melihat keahlian dan pengalaman kerjanya.

Ini bentuk diskriminasi berdasarkan asumsi, bukan penilaian objektif.

Solusi:

  • Nilai pelamar berdasarkan kompetensi dan pengalaman kerja
  • Wawancarai terlebih dahulu sebelum menarik kesimpulan
  • Berikan tes keterampilan untuk mengukur kemampuan, bukan sekadar melihat kondisi

4. Tidak Memberikan Kesempatan untuk Diskusi Akomodasi

Kadang tidak terfikir untuk membuka ruang dialog soal kebutuhan akomodasi. Sering kali asumsi langsung menganggap proses rekrutmen “sulit” bila pelamar menyandang disabilitas. Padahal banyak penyandang disabilitas tahu persis apa yang mereka butuhkan, dan solusinya seringkali sederhana!

Contoh: Teman Tuli mungkin hanya butuh media tulisan saat wawancara. Atau seseorang dengan disabilitas Fisik mungkin hanya butuh ruangan yang bisa diakses kursi roda.

Solusi:

  • Tanyakan sejak awal: “Apakah ada dukungan atau penyesuaian yang kami bisa sediakan?”
  • Libatkan pelamar dalam percakapan terkait kebutuhan mereka
  • Jadikan akomodasi sebagai bagian dari proses, bukan pengecualian

5. Memberikan Alasan Penolakan karena Disabilitas

Saat ini Masih banyak pelamar Disabilitas yang mendapat penolakan dengan alasan seperti:
"Karena kondisi disabilitas Anda, kami tidak dapat melanjutkan proses."
Ini bentuk diskriminasi eksplisit yang tidak dibenarkan dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan.

Penolakan seharusnya berdasarkan hasil tes atau kecocokan kompetensi, bukan kondisi pribadi.

Solusi:

  • Berikan alasan objektif jika pelamar tidak lolos
  • Hindari menyebut disabilitas sebagai penyebab utama penolakan
  • Gunakan bahasa yang sopan dan membangun

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan Mulai dari Sekarang?

  • Audit ulang proses rekrutmen: dari konten, format, hingga cara komunikasi
  • Latih tim HR tentang inklusi dan bias tidak sadar (unconscious bias.
  • Pastikan semua kandidat bisa mengakses informasi dan proses seleksi
  • Bangun budaya kerja yang mendukung keberagaman dan keterbukaan
  • Libatkan penyandang disabilitas dalam merancang proses yang lebih adil


Yuk, pastikan proses rekrutmen yang kamu jalankan tidak menutup peluang siapa pun hanya karena mereka berbeda.

Karena dunia kerja yang sehat dan kuat dibangun oleh keberagaman kemampuan, perspektif, dan latar belakang.

Agar Rekrutmen di Prusahaan sobat inklusi, yuk bergabung bersama DNetwork untuk mengikuti program edukasi kami.

 

Mewujudkan lingkungan kerja yang inklusif bagi penyandang disabilitas bukan hanya tentang menyediakan fasilitas tambahan, melainkan memahami secara menyeluruh kebutuhan mereka yang beragam dan spesifik. Akomodasi yang efektif tidak hanya berdampak pada kenyamanan kerja, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan loyalitas karyawan.

Berikut ini adalah strategi komprehensif yang dapat diterapkan perusahaan dalam mengimplementasikan akomodasi kerja yang layak bagi penyandang disabilitas:

1. Memahami Kerangka Regulasi sebagai Dasar Tindakan

Langkah pertama adalah memahami regulasi yang menjadi dasar hukum dan etika. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta ketentuan dari Kementerian Ketenagakerjaan mengatur kewajiban pemberi kerja dalam menyediakan akomodasi yang layak. Ini mencakup aksesibilitas fisik, informasi, serta penyesuaian proses kerja yang wajar. Regulasi ini menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan internal perusahaan.

2. Meningkatkan Literasi tentang Ragam Disabilitas dan Implikasinya di Dunia Kerja

Setiap jenis disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda. Pemahaman terhadap hal ini menjadi kunci dalam menyediakan akomodasi yang tepat. Beberapa contoh kebutuhan spesifik antara lain:

  • Disabilitas netra: memerlukan screen reader, dokumen atau aplikasi dalam format aksesibel, dan penanda fisik seperti guiding block.

  • Disabilitas daksa: membutuhkan meja kerja yang dapat diatur, ramp, dan akses lift yang ramah pengguna kursi roda.

  • Disabilitas Tuli: membutuhkan juru bahasa isyarat, teks tertulis, atau simbol visual lainnya untuk mendukung komunikasi.

  • Disabilitas intelektual dan psikososial: membutuhkan komunikasi yang jelas, struktur kerja yang stabil, serta dukungan sosial dari rekan kerja.

Pengetahuan ini mencegah pendekatan akomodasi yang bersifat generik dan memastikan solusi yang diberikan benar-benar relevan.

3. Melakukan Pendekatan Komunikatif dengan Karyawan Disabilitas

Alih-alih berasumsi, ajak karyawan dengan disabilitas berdialog secara terbuka mengenai kebutuhan mereka. Komunikasi yang aktif dan rutin akan membangun kepercayaan serta menciptakan lingkungan kerja yang responsif. Pengalaman dan perspektif langsung dari karyawan sangat berharga dalam merancang solusi akomodasi yang efektif.

4. Melakukan Asesmen Kebutuhan Akses secara Individual dan Terstruktur

Kebutuhan setiap individu tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan asesmen kebutuhan secara personal, melalui:

  • Wawancara individual

  • Survei internal

  • Observasi langsung di lingkungan kerja

Hasil asesmen harus dicatat dan dianalisis agar menjadi dasar dalam merancang akomodasi yang tepat sasaran dan berkelanjutan.

5. Berinvestasi pada Pelatihan Inklusi bagi Tim HR dan Manajemen

Pelatihan dan workshop tentang inklusi disabilitas perlu diberikan kepada tim HR dan manajemen. Topik seperti rekrutmen inklusif, cara memberikan umpan balik yang sensitif, serta membangun lingkungan kerja yang mendukung keberagaman akan memperkuat budaya organisasi yang adaptif dan tidak diskriminatif.

6. Melakukan Uji Coba dan Validasi Akomodasi

Sebelum akomodasi diterapkan secara luas, lakukan uji coba bersama karyawan yang membutuhkannya. Mintalah umpan balik langsung untuk menilai apakah fasilitas atau alat bantu yang disediakan benar-benar efektif.

Misalnya, sebuah aplikasi internal yang dianggap telah aksesibel, ternyata belum dapat digunakan dengan nyaman oleh pengguna screen reader karena kendala teknis. Uji coba seperti ini mencegah pemborosan anggaran dan memastikan efektivitas akomodasi.

7. Melakukan Evaluasi dan Penyesuaian Secara Berkala

Kebutuhan karyawan dapat berubah seiring waktu—baik karena perkembangan teknologi, perubahan peran, maupun kondisi kesehatan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi akomodasi secara berkala (misalnya setiap enam bulan), dan melibatkan karyawan dalam proses evaluasi tersebut.

Akomodasi kerja bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi representasi dari prinsip keadilan dan kesetaraan akses di tempat kerja. Perusahaan yang mengimplementasikan akomodasi secara tepat tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga menunjukkan kepemimpinan dalam membangun budaya kerja yang inklusif, inovatif, dan sejahtera.

Mari bergabung bersama DNetwork dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas, melalui program edukasi dan pendampingan dalam penerapan akomodasi kerja yang layak.

Bersama, kita wujudkan dunia kerja yang setara, adaptif, dan inklusif.

#InklusiDiTempatKerja #StrategiAkomodasi #DisabilityInclusion #DNetworkUntukPerusahaan

Gangguan Spektrum Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya perbedaan cara kerja otak dibandingkan individu non disabilitas sehingga menimbulkan berbagai kesulitan seperti kesulitan berkomunikasi, kesulitan bersosialisasi dan kesulitan membaca gerakan non-verbal yang diberikan orang lain terhadap individu tersebut. Contoh, saya kesulitan untuk membaca ekspresi ibu saya pada saat dia marah ke saya dan baru mengetahuinya pada saat dia sudah menyatakan secara verbal bahwa ia sedang marah. Sedangkan Narkolepsi adalah gangguan langka yang terjadi pada saraf yang mempengaruhi siklus tidur individu sehingga individu tersebut kesulitan menahan kantuk, dapat tertidur sewaktu waktu secara mendadak, dan merasakan kelelahan yang berlebih sepanjang hari walaupun waktu tidurnya sudah cukup. Saya sudah memiliki diagnosis resmi dari dokter untuk 2 gangguan tersebut. Berdasarkan hal yang saya pelajari, disabilitas ganda yang saya miliki keduanya masuk kategori disabilitas tidak terlihat.

Sayangnya, walaupun sudah memiliki diagnosis untuk 2 gangguan tersebut, reaksi yang ditunjukkan masyarakat sekitar adalah bahwa mereka masih sulit mempercayai bahwa saya memiliki disabilitas. Masyarakat non disabilitas tersebut masih berpikir bahwa disabilitas itu harus yang menggunakan kursi roda, tongkat, memiliki bagian tubuh yang terlihat kurang, atau ciri ciri lain yang terlihat.

Ada juga yang menolak untuk mengakui kevalidan dari disabilitas saya, mereka berpikir bahwa ketidakpekaan saya terhadap bahasa non verbal, kesalahpahaman dalam memahami satire dari orang lain, kesulitan saya menentukan intonasi yang pas pada saat memanggil orang lain, kelakuan saya yang tampak tidak sopan karena saya tiba tiba mengantuk kemudian tertidur pada saat orang lain berbicara, kekakuan badan yang terjadi pada saat emosi saya terlalu memuncak atau terlalu menurun, mereka mengatakan bahwa semua hal tersebut terjadi karena saya yang mengada adakan hal tersebut dan hal tersebut bukanlah disabilitas. Terlepas dari anggapan yang terkadang menyakitkan hati tersebut, saya masih bisa memakluminya karena mereka adalah masyarakat biasa.

Sayangnya, anggapan bahwa disabilitas adalah orang yang bagian tubuhnya ada yang terlihat menghilang dan perlakuan orang yang tidak ingin mengakui kedisabilitasan saya bukan hanya terjadi pada masyarakat awam. Anggapan tersebut juga terjadi pada para ahli yang sering terlibat dengan individu disabilitas seperti dokter, psikolog, dan para ahli lainnya. Mereka mereka yang memegang wewenang untuk membuat kedisabilitasan seseorang menjadi resmi.

Anggapan dari para ahli yang menolak untuk mengakui disabilitas yang saya miliki jauh lebih menyakitkan dibandingkan jika yang melakukannya adalah orang awam non disabilitas. Hal tersebut pernah terjadi kepada saya. Kejadian pertama adalah pada saat saya meminta surat keterangan disabilitas kepada dokter untuk keperluan beasiswa dan kedua adalah pada saat saya meminta surat sakit kepada dokter karena saya sakit akibat narkolepsi yang saya miliki. Saat itu saya sudah mencoba menjelaskan, menunjukkan isi kertas yang ada pada UU No 8 tahun 2016 yang mencantumkan bahwa disabilitas tidak harus yang terlihat.

Kedua dokter tersebut juga sama sama sudah saya tunjukkan diagnosis penyakit yang saya miliki baik autisme maupun narkolepsi sebagai bukti penguat bahwa saya tidak berbohong. Namun dokter dokter itu sama sama menolak untuk mengakui kedisabilitasan saya. Mereka sama sama memiliki pandangan bahwa disabilitas haruslah ada kehilangan fungsi tubuh tertentu yang dapat dilihat oleh mata. Parahnya lagi, dokter yang kedua tidak menganggap narkolepsi itu penyakit. Dokter pada kejadian pertama tidak memberikan surat keterangan disabilitas, dokter pada kejadian kedua tidak memberikan surat keterangan sakit. Pada akhirnya saya mencari dokter lain untuk mendapatkan hal yang saya butuhkan.

Adanya perbedaan antara definisi disabilitas secara teoritis yang tertulis pada aturan terbaru dengan definisi disabilitas praktikal yang diimplementasikan oleh masyarakat adalah fenomena lapangan yang saya tangkap dari kejadian kejadian yang sudah saya alami. Tentunya, kejadian yang sudah saya lalui tersebut membuat saya mempertanyakan kembali mengenai identitas disabilitas yang saya miliki. Selain itu, saya merasa bahwa disabilitas tidak terlihat yang saya miliki tidak dianggap oleh masyarakat. Lebih parahnya lagi, disabilitas yang saya miliki seperti disabilitas yang asing dan terabaikan bahkan diantara para individu maupun komunitas disabilitas lain yang identitas disabilitasnya lebih diakui oleh masyarakat.

Lalu, tindakan apa yang saya lakukan untuk menghadapi perlakuan tidak enak tersebut? Tentu saja saya harus mengenal diri saya, termasuk kondisi disabilitas saya. Dengan pemahaman saya mengenai kondisi saya, saya berharap bisa memberi penjelasan yang mudah dimengerti sehingga lebih banyak masyarakat yang teredukasi. Selain itu dengan mengenali kondisi disabilitas saya sama saja dengan memperbesar peluang saya untuk memaksimalkan potensi yang saya punya. Pada saat potensi saya lebih maksimal, saya bisa berbaur dengan lebih banyak masyarakat dan masyarakat lebih memandang saya. Pada saat masyarakat lebih memandang saya otomatis mereka akan lebih mendengarkan perkataan saya, lebih banyak juga masyarakat yang akan mendengarkan saya pada saat saya berbicara, termasuk apabila saya sedang mencoba mengedukasi orang lain tentang disabilitas.

Agar masyarakat lebih menyadari keberadaan disabilitas tidak terlihat, saya mengajak para individu dengan disabilitas tidak terlihat agar lebih mengenali disabilitas yang mereka miliki, memaksimalkan potensi diri agar menjadi individu yang lebih dipandang masyarakat dan lebih berani menyuarakan identitas disabilitas mereka. Selain itu untuk para ahli maupun masyarakat yang terlibat langsung dengan orang disabilitas dengan frekuensi bertemu yang cukup sering, tolong perbarui kembali pengetahuan yang dimiliki mengenai disabilitas. Pelajari mengenai UU No 8 tahun 2016, pelajari juga mengenai pengetahuan terbaru mengenai disabilitas yang ada di mancanegara. Jangan terfokus pada paradigma bahwa disabilitas hanya untuk orang orang yang ada kata tuna di depannya atau hanya terfokus pada pandangan bahwa disabilitas haruslah hal yang terlihat.

Arti disabilitas yang sekarang lebih luas dibandingkan itu. Contoh, orang dengan penyakit kronis bisa dianggap disabilitas asal memiliki kekurangan yang mempengaruhi secara fisik maupun mental sehingga kekurangan tersebut membuat orang tersebut kesulitan untuk menjalankan kehidupan sehari hari. Dengan beraninya para individu dengan disabilitas tidak terlihat untuk menyuarakan mengenai disabilitasnya dengan cara yang tepat, stigma yang sudah terjadi terhadap individu dengan disabilitas tidak terlihat akan berkurang. Dengan adanya pengetahuan yang sudah diperbarui oleh para ahli yang aktif berurusan dengan individu dengan disabilitas mengenai definisi dari disabilitas maka akan muncul kebijakan yang lebih inklusif untuk semua pihak, baik itu untuk individu dengan disabilitas, individu non disabilitas, individu dengan disabilitas yang terlihat maupun individu dengan disabilitas yang tidak terlihat.

Tentang penulis: Perkenalkan saya Rahmat Fahri Naim. Saya lahir di Surabaya, dan sekarang tinggal di Bekasi. Saya memiliki Gangguan Spektrum Autisme sejak lahir dan Gangguan Narkolepsi yang terjadi sejak tahun 2017.

Jakarta, 6 Desember 2022 - Penyandang disabilitas dinilai sebagai pihak yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan kaji cepat jaringan organisasi disabilitas, 80,9 persen responden disabilitas di Indonesia terdampak pandemi dari sisi komunikasi, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Survey ini melibatkan 1.683 responden dari beragam jenis disabilitas dari 216 Kota/Kabupaten pada 32 Provinsi di Indonesia pada 10-24 April 2020 lalu (ppdi, 2020).

Salah satu sisi yang terdampak yakni sisi Komunikasi sebagai aspek penting bagi manusia untuk bersosialisasi terutama di dunia kerja. Setiap penyandang disabilitas mempunyai cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berbeda. Teman Tuli mengoptimalkan organ penglihatan untuk mengidentifikasi subjek dan objek, sedangkan teman netra memaksimalkan kemampuan audio. Disisi lain, disabilitas ganda juga memiliki cara berkomunikasi tersendiri untuk memahami sebuah pesan.

Oleh karena itu meyakinkan para pemberi kerja dan perekrut tenaga kerja bahwa memahami cara komunikasi yang tepat akan dapat menciptakan komunikasi efektif di dunia kerja. Memahami cara komunikasi dengan penyandang disabilitas juga dapat menjadi langkah awal untuk membangun percaya diri merekrut penyandang disabilitas menjadi bagian dari perusahaan/organisasi. Sehingga, mereka yang semula belum yakin merekrut penyandang disabilitas menjadi siap rekrut dan bekerja bersama disabilitas.

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional tahun 2022, Suarise bersama Hear Me dan DNetwork Jaringan Kerja Disabilitas kembali menyelenggarakan Webinar Disability Confident Employer bertajuk Effective communication for employer to employee with disability atau Komunikasi Efektif untuk Pengusaha kepada para Pekerja Disabilitas. Acara ini merupakan sebuah wadah yang mempertemukan ekspektasi para pemberi kerja dengan kebutuhan dunia industri untuk meningkatkan peluang kerja bagi disabilitas.

Best Practise Komunikasi Efektif dengan Tenaga Kerja Disabilitas

Acara yang diperuntukkan bagi praktisi HR, perekrut tenaga kerja, pendiri perusahaan, komunitas disabilitas, dan peminat isu disabilitas ini menghadirkan perwakilan pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, perusahaan lokal dan multinasional, serta perwakilan organisasi internasional. Kehadiran mereka menjadi referensi best practices dalam mewujudkan komunikasi efektif dalam proses merekrut tenaga kerja disabilitas mulai dari tahap perekrutan dan wawancara, tahap onboarding (magang), hingga daily communication (komunikasi sehari-hari).


Perwakilan dari Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yakni Koordinator Bidang Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Sekar Pratiwi Adji menjelaskan bahwa isu disabilitas merupakan salah satu isu prioritas pemerintah dalam KTT G20 yang menghasilkan dokumen action plan market integration of present with disability. “Saya berharap dengan momentum dan komitmen hasil G20 Presidensi Indonesia, maka implementasi ULB bidang ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat meningkatkan dan memperkuat layanan pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Kemudian perusahaan, BUMN/BUMD dapat semakin meningkatkan penempatan tenaga kerja disabilitas sesuai kota penempatan amanat UU No.8 tahun 2016,” jelas Sekar.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia memaparkan peran komisi nasional disabilitas (KND) dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas serta mengingatkan pentingnya aspek komunikasi bagi penyandang disabilitas. “Penting untuk menghapuskan stigma terhadap penyandang disabilitas. Kedua kesadaran penuh bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang sama terlepas dari kondisi disabilitas atau non disabilitas. Ketiga, menciptakan kesempatan bagi penyandang disabilitas yang akan bermanfaat bagi semua orang. Keempat, memastikan pelibatan individu maupun kelompok serta organisasi disabilitas. Ada slogan dari kami Nothing is about us without us. Kami berharap pelibatan kami dalam proses pembangunan mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” paparnya.

Pada sesi mengenai rekrutmen dan wawancara pekerja disabilitas, Human Capital Director Bank Danamon, Heriyanto Agung Putra menegaskan bahwa Disabilitas merupakan isu lintas sektoral yang membutuhkan perhatian seluruh stakeholder, seperti pemerintah, industri, lembaga masyarakat, dan sektor lainnya.
“Untuk itu, di sisi SDM, salah satu strategi yang kami lakukan adalah mengelompokan unit-unit kerja yang mungkin part (menjadi bagian) pemberdayaan pekerja dengan keterbatasan fisik itu dengan menempatkan pegawai dengan disabilitas fisik di area-area seperti middle office, back-office, dan IT. Justru (penempatan mereka) kuat disana kualitasnya karena kondisi pekerjaan tersebut lebih mendukung”, tegas Heri.

Disisi lain, Wisnu Saputra, Project Manager DNetwork lebih menekankan pentingnya melakukan konfirmasi kebutuhan akomodasi kepada calon pegawai disabilitas, khususnya pada saat tahap interview.“Kalau saya (mengarahkan) ke perusahaan, Saya akan menomorsatukan akomodasi. Apakah perusahaan bisa menyediakan akomodasi yang diminta dan diinginkan agar karyawan bisa bekerja dengan baik. Kalau misalnya (penyediaan) akomodasi ini tidak bekerja (berjalan dengan baik), perubahan responsibility akan menjadi pilihan terakhir,” tuturnya.

Sebagai pegawai yang berlatar belakang teman tuli, Novita Pangestika, administrasi (outsourching) Bank Mandiri menyampaikan pengalamannya pada saat interview. Kala itu Novita mengalami ketiadaan juru bahasa isyarat, karena perusahaan mulanya menganggap bahwa disabilitas tidak membutuhkan pendamping.
“Pada saat itu bisa komunikasi (dengan teman tuli) dengan cara menulis. Komunikasinya pelan-pelan. Kalau tidak tahu, minta diulang saja. Setelah saya diterima dan melalui training, dari pihak perusahaan memberikan fasilitas JBI,” ungkapnya.

Sesi pertama ini menyimpulkan agar setiap organisasi/perusahaan untuk tidak berasumsi. Sebaliknya mereka diajak untuk selalu membuka ruang komunikasi khususnya mengenai kebutuhan komunikasi dan cara komunikasi yang baik dengan teman-teman disabilitas. Dalam pembukaan lowongan kerja, setiap organisasi/perusahaan juga diharapkan dapat memastikan sisi aksesibilitas digital (diantaranya keterbacaan, alt-text, kontras warna) terpenuhi mengakomodasi perbedaan ragam disabilitas. Selanjutnya pada sesi Onboarding, Project Manager Suarise, Theresia Suganda menegaskan bahwa proses ini penting dilakukan untuk dapat memastikan bahwa lingkungan kerja yang akan dimasuki oleh tenaga kerja difabel benar-benar siap merangkul mereka. “Pengalaman kami memfasilitasi on boarding bagi talents tunanetra Suarise, kami menemukan banyak ketidaktahuan perusahaan misalnya apakah harus menyediakan laptop khusus untuk tunanetra? Sebaliknya, para talents juga ada pertanyaan mengenai apakah harus bekerja dari kantor atau bisa dari rumah? Pertanyaan ini mendasari kami melakukan asesmen kepada perusahaan dengan memberi pertanyaan seputar penempatan kerja, learning buddy, hingga tools khusus dalam koordinasi kerja, baru kemudian disesuaikan dengan para talents.”

Perspektif berbeda datang dari I Made Wikanda, teman netra yang bekerja sebagai Disability Inclusion Officer dari UNICEF. Menurut Wikan, proses onboarding sangat krusial untuk menjamin tenaga kerja difabel dapat berperan aktif dan berkontribusi dalam perusahaan. “Kalau di UNICEF proses onboarding dilakukan secara inklusif dengan menyediakan fasilitas, akomodasi, dan lingkungan yang bisa menciptakan kontribusi dari difabel. Pada akhirnya (tenaga kerja) difabel bukan sekadar angka, tapi lebih kepada bagaimana mereka bisa berperan aktif, meaningfully engage, atau terlibat dalam proses pekerjaan dan bisa berkembang dalam karier, ujar Wikan”. Sesi ini mengajak agar perusahaan/organisasi berkontribusi membuat produk digital yang dapat diakses bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Inklusi merupakan sebuah proses menciptakan lingkungan dan interaksi antar individu yang hangat, terbuka, dan akomodatif bagi siapapun, terlepas dari latar belakang, ras, etnis, agama, ataupun jenis disabilitas yang dimiliki.

Kemudian pada sesi Daily Communication, teman netra sekaligus Heads of Engagement Think Web, M Reza Akbar menyatakan bahwa tantangan terbesar komunikasi baginya terjadi pada awal bergabung dalam perusahaan. Mulanya ia merasa komunikasi agak kaku, tetapi ia yakin bahwa dengan membuat dirinya proaktif akan jauh lebih mencair. “Enggak usah ada batasan dalam komunikasi, anggap sama saja. Hal tricky saat zaman mulai online, kadang saat komunikasi via chat mereka suka lupa kirim screenshot. Saya selalu ingetin ‘wah dark jokes, saya kan tunanetra (sambil bercanda).’ Sehingga saya perlu mengedukasi temen-temen supaya lebih fleksibel komunikasi sama tunanetra,” ungkap Ega.

Tine E Efendi VP of Customer Satisfaction Management Bukalapak menuturkan bahwa dari pihak perusahaan, khususnya pegawai nondifabel saat bertemu dengan pegawai difabel merasa ada ketakutan pada awalnya. Namun rasa penasaran yang tinggi membuat mereka tergerak untuk mencari tahu sendiri bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan rekan kerja difabel. “Awalnya takut, tapi lama-kelamaan bisa ngobrol dan akhirnya bisa terlibat. Jadi jangan takut untuk memulai, misalnya terlalu takut kalau ada difabel nanti harus menyediakan fasilitas, bagaimana cara berkomunikasinya yang akhirnya bikin kita tidak mulai-mulai. Kami lakukan dulu aja karena kami punya believe.”

Ivan Octa Putra Head of Branding Hear Me sekaligus teman tuli menambahkan bahwa cara berkomunikasi efektif dengan dirinya kepada rekan kerja dimulai dengan mengajari bahasa isyarat dasar, dan jika masih belum paham bisa bertukar teks. Setelah itu baru diajari budaya tulinya, dan diajari terus-menerus, hingga lama-lama berkembang menggunakan bahasa isyarat lebih baik. “Umumnya teman dengar menggunakan bahasa tinggi, biasanya kami minta tolong agar bahasanya lebih sederhana. Kalau ada bahasa Inggris atau istilah bisnis kami akan bertanya maksudnya apa. Kemudian, Ada beberapa teman tuli komunikasi menggunakan chat panjang kurang bisa dipahami. Kalau begitu, kami biasanya menggunakan video call, dijelaskan ulang dan jauh lebih paham.”

Sebagai solusi untuk menciptakan komunikasi efektif, Senior Product Desain Lead salah satu e-commerce sekaligus seorang disleksia, Dian Soraya memiliki tips tersendiri. Aya memandang bahwa cara berkomunikasi setiap orang seperti spektrum, memiliki perbedaan satu sama lain, meskipun orang tersebut bukan seorang difabel.
“Saya punya kebijakan personal user manual. Saya minta setiap orang membuat manual diri masing-masing sebagai manusia. Saya buat pointers: style kerja, value, kesulitan, dan how to make best communication with you? Kemudian bagaimana saya bisa membantu dia, dan apa yang sering orang lain salah artikan terhadapnya. Sehingga setiap orang punya ruang tentang dirinya dan bisa saling mengisi kelebihan dan kekurangannya. Jadi kita tahu What is the best way to approach you,” jelasnya.

Sebagai sesi penutup, komunikasi antara teman disabilitas maupun non disabilitas memerlukan interaksi dua arah. Teman non disabilitas diharapkan lebih aware dengan menegur maupun menyapa terlebih dulu. Sebaliknya teman disabilitas dapat lebih proaktif atau mengungkapkan atau berani speak up sehingga komunikasi sehari-hari tersebut dapat berjalan dengan baik.

Tentang Penyelenggara


Kegiatan ini diselenggarakan oleh Suarise, Hear Me, dan DNetwork untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2022.

Suarise adalah perusahaan sosial independen yang fokus mempromosikan yang memungkinkan kesamaan akses dan kesempatan bagi orang-orang dengan gangguan penglihatan (tunanetra) di industri digital dan platform online. Sejak didirikan pada 2017, Suarise menyediakan tiga layanan utama. Pertama, memberikan pelatihan vokasi terkait teknologi digital bagi tunanetra dan low vision agar dapat bekerja secara independen maupun sebagai tenaga tetap dalam perusahaan. Kedua, Suarise membuka konsultasi dan riset aksesibilitas digital, serta persiapan onboarding bagi perusahaan yang akan mempekerjakan disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision. Ketiga, Suarise menyediakan jasa penulisan konten digital yang dilakukan para talents Suarise tunanetra dan low vision.

Hearme merupakan sosial startup yang menyediakan aplikasi penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) pertama dengan tampilan 3D animasi untuk menjembatani komunikasi antara Teman Tuli dan Teman Dengar. Selain aplikasi, berbagai inovasi dan terobosan terus dilakukan untuk misi mendukung terciptanya ekosistem yang inklusif. Pada tahun 2022, Hear Me melakukan pengembangan produk untuk memberikan layanan masyarakat dengan menyediakan akses fasilitas yang ramah Tuli baik di fasilitas umum maupun tingkat korporasi dengan empat layanan yang sediakan yaitu, Layar Informasi Bahasa Isyarat, JBI Corporate, Layar Voice to Motion, dan Konten Video Animasi/Juru Bahasa Isyarat.

DNetwork adalah organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas di Indonesia melalui kesempatan kerja. DNetwork menyediakan dua layanan utama. Pertama bagi para pencari kerja, DNetwork memberikan informasi kerja, pelatihan keterampilan dan profesionalisme untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan para pencari kerja, serta konsultasi pengembangan pribadi dan karir sesuai dengan minat dan kemampuan. Kedua bagi perusahaan, DNetwork membuka lowongan kerja untuk penyandang disabilitas, menyediakan konsultasi tentang bekerja dengan para penyandang disabilitas sebagai bagian dari persiapan perusahaan untuk bekerja dengan para penyandang disabilitas, serta melakukan diskusi dan pendampingan proses rekrutmen berdasarkan permintaan perusahaan dan ketersediaan Tim DNetwork.

Kalian yang pernah melamar pekerjaan, pernah membaca atau mendengar kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani" dalam persyaratan pekerjaan? Atau justru kalian pernah membuka lowongan pekerjaan dengan menggunakan kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani"?

 

 

Tau ga kalian kalau ternyata persyaratan "Sehat Jasmani dan Rohani" dapat bersifat diskriminatif terumata bagi pelamar dengan disabilitas loh!

Gaol (2020) dalam penelitiannya mengatakan kalau hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam tahap rekrutmen tenaga kerja, di mana sehat jasmani dapat diartikan sebagai "keadaan fisik tanpa menyandang disabilitas tertentu".

Gaol (2020) juga menambahkan kalau persyaratan ini cukup bermasalah karena dapat menimbulkan banyak arti bagi pembacanya. Kebanyakan pembaca akan mengartikan "Sehat Jasmani dan Rohani" sebagai kondisi yang "sempurna" yang berujung berkurangnya akses masuk kerja bagi temen temen disabilitas.

 

Gambar berisi cuplikan berita dari kompas.com mengenai seorang dokter gigi yang

 

Cerita serupa muncul di tahun 2019 di mana seorang Dokter Gigi yang sudah dinyatakan lulus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, harus tidak diluluskan hanya karena Beliau adalah seorang pengguna kursi roda. Jangan sampai cerita ini berulang lagi ya!

 

Reference:

Gaol, H. S. L. (2020). Syarat sehat jasmani sebagai diskriminasi tenaga kerja difabel. INKLUSI, 7(2), 207. https://doi.org/10.14421/ijds.070202

Seri "Kamu Tau Ga?" membahas tentang hal-hal yang mungkin kalian sering lihat atau rasakan tetapi kalian ga tau tuh itu apaan. Dalam seri pertama ini, DNetwork akan membahas tentang garis kuning yang kalian sering lihat di trotoar.

 

Buat temen-temen yang sering jalan kaki, pasti sering lihat paving timbul di trotoar kaya di gambar ini kan?

 

 

Nah, paving ini disebut dengan nama Guiding Block atau pemandu jalan untuk temen-temen netra agar dapat mobilisasi secara mandiri. Biasanya berwarna kuning atau berwarna lebih mencolok dari warna paving trotoar dengan bentuk timbul berupa garis-garis atau bundaran kecil.

 

Trus bedanya yang garis-garis lurus dengan bundaran-bundaran kecil apa?

Gambar guiding block menunjukkan pola berbeda (garis dan bundar)

 

Jadi, garis-garis lurus timbul berarti teman-teman netra dapat berjalan terus karena garis ini tidak menunjukkan adanya hambatan. Di sisi lain, bundaran-bundaran kecil justru memberitahukan pengguna jalan untuk berhati-hati. Baik itu karena ada halangan permanen, pertigaan, lampu lalu lintas, dan lain-lain.

 

 

Nah jadi sudah tau kan sekarang kalo guiding block ini ternyata ada fungsinya dan bukan cuma pemanis trotoar aja!