-->
-->

Bagi sobat disabilitas yang sedang dalam proses pencarian kerja, tidak hanya penting untuk menunjukkan kemampuan dan kualifikasi, tetapi juga untuk memastikan bahwa lingkungan kerja yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan perlindungan bagi pekerja dengan disabilitas. Menanyakan tentang jaminan pekerjaan adalah langkah yang kritis untuk memastikan bahwa pekerja dengan disabilitas akan mendapatkan perlindungan yang layak dan kesempatan yang setara di tempat kerja. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa penting untuk menanyakan jaminan pekerjaan, beserta contoh pertanyaannya: 

  1. Memastikan Kesejahteraan dan Perlindungan. 

    Pekerja dengan disabilitas membutuhkan lingkungan kerja yang memperhatikan kesejahteraan dan perlindungan mereka. Mengetahui jaminan pekerjaan akan memberikan keyakinan bahwa kebutuhan mereka akan diperhatikan.

    Contoh Pertanyaan:

    "Bagaimana kebijakan perusahaan terkait dengan jaminan sosial tenaga kerja seperti jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan?" 

  2. Mengakses Fasilitas Tambahan. 

    Pekerja dengan disabilitas mungkin memerlukan fasilitas tambahan atau penyesuaian di tempat kerja untuk mendukung kesehatan dan produktivitas mereka. Menanyakan tentang jaminan kerja dapat membantu dalam mengetahui ketersediaan fasilitas tersebut. 

    Contoh Pertanyaan:

    "Apakah perusahaan memiliki program jaminan hari tua atau pensiun? Jika iya, bagaimana cara saya dapat mengakses program tersebut?"

  3. Mendapatkan Dukungan dan Peluang. 

    Mengetahui tentang program dukungan dan peluang di tempat kerja dapat membantu pekerja dengan disabilitas dalam mengembangkan keterampilan mereka dan meraih kesuksesan dalam karir mereka. 

    Contoh Pertanyaan:

    "Apakah ada program pelatihan atau dukungan khusus yang ditawarkan kepada karyawan untuk meningkatkan keterampilan dan peluang kerja?"

  4. Mengetahui Prosedur Perlindungan. 

    Memahami prosedur untuk mengajukan klaim jaminan kerja dalam situasi tertentu seperti kecelakaan atau insiden di tempat kerja akan memberikan rasa aman dan perlindungan bagi pekerja dengan disabilitas. 

    Contoh Pertanyaan:

    "Bagaimana prosedur untuk mengajukan klaim jaminan kerja jika terjadi kecelakaan atau insiden di tempat kerja?"

  5. Memahami Kebijakan Inklusi dan Keadilan. 

    Menanyakan tentang jaminan pekerjaan juga akan memberikan pemahaman tentang sejauh mana perusahaan memprioritaskan inklusi dan keadilan bagi pekerja dengan disabilitas. 

    Contoh Pertanyaan:

    "Bagaimana perusahaan menangani situasi ketika karyawan mengalami gangguan kesehatan atau disabilitas yang mungkin mempengaruhi kinerja mereka?"

 

Kesimpulan

Menanyakan tentang jaminan pekerjaan adalah langkah yang penting dalam memastikan bahwa pekerja dengan disabilitas akan mendapatkan perlindungan yang layak, dukungan yang memadai, dan kesempatan yang setara di tempat kerja. Dengan mengetahui kebijakan dan program yang ada, pekerja dengan disabilitas dapat merasa lebih percaya diri dan terjamin dalam mengembangkan karir mereka. Oleh karena itu, penting bagi calon pekerja dengan disabilitas untuk aktif bertanya tentang jaminan pekerjaan selama proses wawancara. 

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, kami mengundang Anda untuk bergabung dengan DNetwork, sebuah platform jaringan kerja yang didedikasikan untuk memperkuat hubungan antara tenaga kerja penyandang disabilitas dan penyedia pekerjaan. DNetwork juga menyediakan berbagai sumber daya untuk persiapan dan pengembangan karier profesional bagi pekerja penyandang disabilitas. 

Dengan bergabung bersama DNetwork, Anda dapat menjadi bagian dari perubahan positif ini dan membantu menciptakan masa depan yang lebih inklusif bagi seluruh pekerja.



Di Indonesia, jaminan kerja bagi pekerja dengan disabilitas menjadi sebuah aspek penting dalam upaya menciptakan kesetaraan dan inklusi di tempat kerja. Meskipun pekerja dengan disabilitas memiliki kemampuan dan potensi yang sama dengan pekerja lainnya, mereka sering menghadapi berbagai hambatan untuk mendapatkan pekerjaan dan memperoleh perlindungan yang layak. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak pekerja dengan disabilitas dan memberikan jaminan kerja yang sesuai.

Peraturan Perlindungan Pekerja dengan Disabilitas

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Undang-undang ini menjadi landasan hukum utama yang menjamin hak-hak pekerja dengan disabilitas. Undang-undang ini mewajibkan pemberi kerja untuk memberikan perlindungan dan fasilitas yang memadai bagi pekerja dengan disabilitas.
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 

Peraturan ini memberikan panduan lebih lanjut tentang implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, termasuk dalam hal jaminan kerja bagi pekerja dengan disabilitas.

Jaminan Kesejahteraan Pekerja dengan Disabilitas

  1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JSTK): Program JSTK meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Pekerja dengan disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan manfaat dari program-program jaminan sosial ini.
  1. Program Bantuan dan Dukungan Pemerintah: Pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan program bantuan dan dukungan bagi pekerja dengan disabilitas, seperti program pelatihan dan bimbingan kerja khusus, serta program bantuan keuangan melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) Penyandang Disabilitas.

Inklusi di Tempat Kerja

  1. Komitmen Perusahaan: Banyak perusahaan di Indonesia telah menyatakan komitmen mereka untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif bagi pekerja dengan disabilitas. Hal ini termasuk dalam kebijakan perekrutan yang inklusif dan penyesuaian lingkungan kerja untuk memfasilitasi partisipasi pekerja dengan disabilitas.
  1. Peluang Kerja dan Pelatihan: Sejumlah perusahaan juga aktif memberikan peluang kerja dan pelatihan kepada pekerja dengan disabilitas melalui program-program CSR mereka. Program-program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berkontribusi dalam dunia kerja.

Tantangan yang Masih Dihadapi

Meskipun langkah-langkah telah diambil untuk meningkatkan jaminan kerja bagi pekerja dengan disabilitas di Indonesia, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Tantangan tersebut meliputi stigma sosial, kurangnya aksesibilitas, dan keterbatasan dalam akses pendidikan dan pelatihan.

Harapan untuk Masa Depan

Dengan implementasi peraturan yang ada, dukungan dari berbagai pihak, serta kesadaran akan pentingnya inklusi dan kesetaraan di tempat kerja, diharapkan jaminan kerja bagi pekerja dengan disabilitas di Indonesia akan terus meningkat. Hal ini tidak hanya akan membantu pekerja dengan disabilitas untuk hidup mandiri dan bermartabat, tetapi juga akan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua.

Dalam kesimpulan, jaminan kerja bagi pekerja dengan disabilitas di Indonesia merupakan bagian integral dari upaya menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Melalui kebijakan yang mendukung, program-program yang inklusif, dan komitmen dari semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi semua orang, tanpa memandang status atau kondisi fisik.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, kami mengundang Anda untuk bergabung dengan DNetwork, sebuah platform jaringan kerja yang didedikasikan untuk memperkuat hubungan antara tenaga kerja penyandang disabilitas dan penyedia pekerjaan. DNetwork juga menyediakan berbagai sumber daya untuk persiapan dan pengembangan karier profesional bagi pekerja penyandang disabilitas.

Dengan bergabung bersama DNetwork, Anda dapat menjadi bagian dari perubahan positif ini dan membantu menciptakan masa depan yang lebih inklusif bagi seluruh pekerja.


Sumber:

  • Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2018). Buku Saku Penyandang Disabilitas.
  • Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. (2019). Profil Penyandang Disabilitas Indonesia.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Kartu Indonesia Pintar (KIP) Penyandang Disabilitas.



Di tengah semangat inklusi dan keadilan, semakin banyak perusahaan yang mulai mempertimbangkan pendekatan yang inklusif dalam proses rekrutmen. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui penerapan masa percobaan pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi manfaat dan tantangan dari pendekatan ini serta bagaimana perusahaan dapat meningkatkan kesuksesannya.

 

Manfaat Masa Percobaan Pekerjaan untuk Penyandang Disabilitas:

  1. Kesempatan untuk Pembuktian Diri

Masa percobaan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk membuktikan kemampuan mereka di tempat kerja. Hal ini memungkinkan mereka untuk menunjukkan potensi mereka secara langsung kepada majikan.

  1. Penyesuaian Lingkungan Kerja

Selama masa percobaan, perusahaan dapat menyesuaikan lingkungan kerja dan tugas pekerjaan sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah bagi semua karyawan.

  1. Evaluasi Kinerja yang Adil

Masa percobaan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengevaluasi kinerja karyawan penyandang disabilitas dengan objektif. Ini memungkinkan perusahaan untuk membuat keputusan rekrutmen berdasarkan kinerja yang sebenarnya, bukan sekadar prasangka atau stereotip.

  1. Peluang Pembelajaran Bersama

Masa percobaan tidak hanya memberikan kesempatan bagi karyawan penyandang disabilitas untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan kerja baru, tetapi juga bagi rekan kerja dan manajemen untuk belajar tentang kebutuhan dan potensi mereka.

Baca juga:

Inklusivitas di Tempat Kerja: Mengatasi Diskriminasi dan Stereotip

Tantangan dan Cara Mengatasi Masa Percobaan Pekerjaan untuk Penyandang Disabilitas:

  1. Bias dan Stereotip

Tantangan utama adalah adanya bias dan stereotip terhadap penyandang disabilitas. Perusahaan perlu melakukan pelatihan dan pendidikan kepada stafnya untuk mengatasi bias ini dan memastikan proses rekrutmen yang adil dan inklusif.

  1. Aksesibilitas Lingkungan Kerja

Perusahaan harus memastikan bahwa lingkungan kerja mereka dapat diakses dan digunakan dengan nyaman oleh semua karyawan, termasuk penyandang disabilitas. Ini mungkin memerlukan penyesuaian fisik atau teknologi yang sesuai.

  1. Dukungan dan Akomodasi

Perusahaan harus siap menyediakan dukungan dan akomodasi yang diperlukan bagi karyawan penyandang disabilitas selama masa percobaan. Ini bisa berupa dukungan teknis, pelatihan tambahan, atau penyesuaian tugas.

Tips untuk Meningkatkan Kesuksesan Masa Percobaan Pekerjaan:

  1. Kolaborasi dengan Organisasi dan Jaringan Penyandang Disabilitas

Bekerjasama dengan organisasi dan jaringan penyandang disabilitas dapat membantu perusahaan mendapatkan informasi dan saran yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.

  1. Komunikasi Terbuka

Perusahaan harus memastikan bahwa komunikasi dengan karyawan penyandang disabilitas selama masa percobaan berjalan lancar dan terbuka. Ini dapat membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah dengan cepat.

  1. Evaluasi dan Pembelajaran Berkelanjutan

Perusahaan harus terus mengevaluasi dan memperbaiki proses mereka dalam merekrut dan mempekerjakan penyandang disabilitas. Pembelajaran berkelanjutan adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang semakin inklusif.

Dengan menerapkan pendekatan yang inklusif dalam proses rekrutmen dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk membuktikan diri mereka sendiri melalui masa percobaan pekerjaan, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah bagi semua karyawan. Inklusi bukan hanya tentang memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga tentang memanfaatkan potensi penuh dari semua individu dalam organisasi.

Dalam semangat ini, kami mengundang Anda untuk bergabung dengan DNetwork, sebuah platform jaringan kerja yang didedikasikan untuk memperkuat hubungan antara tenaga kerja penyandang disabilitas dan penyedia pekerjaan. DNetwork juga menyediakan berbagai sumber daya untuk persiapan dan pengembangan karier profesional bagi pekerja penyandang disabilitas.

Dengan bergabung bersama DNetwork, Anda dapat menjadi bagian dari perubahan positif ini dan membantu menciptakan masa depan yang lebih inklusif bagi seluruh pekerja.

Bagi para karyawan yang baru saja bergabung dalam perusahaan akan mengalami masa percobaan bekerja yang disebut dengan probation. Masa percobaan bekerja atau probation, dalam konteks hukum dan kepegawaian, adalah periode percobaan yang memberikan kesempatan kepada individu untuk membuktikan kualifikasi dan kemampuannya dalam suatu pekerjaan atau lingkungan tertentu. Masa percobaan ini dirancang dengan tujuan memberikan kesempatan kepada individu untuk menyesuaikan diri dengan tugas dan ekspektasi yang terkait dengan peran tertentu. 

Durasi masa percobaan bervariasi tergantung pada konteksnya. Dalam dunia kerja, probation mungkin berlangsung selama beberapa bulan setelah seseorang baru saja dipekerjakan. Selama periode probation, individu biasanya akan mendapat pengawasan yang lebih intensif. Di tempat kerja, atasan atau supervisor dapat memberikan pemantauan ekstra dan umpan balik reguler. Untuk sobat, pastikan dengan jelas sampai kapan masa percobaan ini akan dimulai karena berpengaruh kepada kompensasi yang akan sobat dapatkan.

Selama periode probation, beberapa faktor dinilai, seperti kinerja kerja (dalam konteks pekerjaan)dan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Evaluasi ini membantu menentukan apakah status individu akan menjadi permanen atau tidak.

Baca juga:

Menjadi Pribadi yang Adaptif

Dampak Positif Probation:

  1. Memberikan kesempatan untuk membuktikan kapabilitas diri. Probation memberikan sejumlah dampak positif. Dalam dunia kerja, itu memberikan kesempatan bagi pekerja baru untuk belajar dan tumbuh tanpa tekanan permanensi sejak awal. Dalam konteks peradilan, probation dapat menjadi langkah yang memungkinkan rehabilitasi dan reintegrasi sosial
  2. Membuktikan kemampuan diri untuk beradaptasi. Selain itu, Probation adalah kesempatan bagi individu untuk membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi, belajar, dan mengatasi tantangan untuk mengukur komitmen dan kemampuan individu untuk berkontribusi atau hidup sesuai dengan norma yang diinginkan.

Pada intinya, masa percobaan atau probation adalah jembatan yang memberikan kesempatan kepada individu untuk melangkah maju ke tahap berikutnya dalam kehidupan atau karier mereka. Melalui kesempatan ini, mereka memiliki peluang untuk membentuk masa depan yang lebih baik dan membuktikan nilai diri mereka kepada dunia sekitar.

Bagi pekerja penyandang disabilitas yang ingin mengembangkan profesionalitas, bergabung dengan DNetwork adalah salah satu pilihan. DNetwork merupakan platform jaringan ketenagakerjaan disabilitas yang menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu pekerja penyandang disabilitas mengembangkan  potensi  yang dimiliki. 

Bergabung dengan DNetwork,  akan membuka akses ke berbagai kegiatan dan sumber daya yang dapat membantu meningkatkan profesionalisme. Hal ini mencakup pelatihan keterampilan khusus, peluang membentuk koneksi dengan rekan kerja, dan akses terhadap informasi terkini tentang peluang kerja yang sesuai dengan keterampilan. Dengan mendapatkan dukungan dari DNetwork, Anda mampu mencapai kesuksesan yang diimpikan.



Berbicara tentang orang dengan disabilitas bukan berarti hanya sekedar merujuk pada keterbatasan yang dimilikinya. Disisi lain, sudah menjadi tugas bersama untuk menciptakan lingkungan yang inklusi bagi disabilitas, baik itu dari segi aksesibilitas maupun perlakuan yang didapat dari masyarakat sekitar. Hal ini tentunya juga bertujuan untuk menciptakan situasi yang aman dan perasaan yang nyaman ketika individu dengan disabilitas berada dilingkungan sekitarnya, terutama di ruang publik dengan berbagai stereotip (pandangan) yang melekat di masyarakat. Tentu ini bukan menjadi sebuah pertanyaan baru lagi mengapa usaha ini perlu ditegakkan. Selain tertuang dalam UU No.8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, semua manusia perlu menyadari bahwa setiap insan berpotensi dan memiliki resiko menjadi penyandang disabilitas, meskipun memang tiada satupun yang menginginkan hal tersebut terjadi.

Jika ditarik dari segi sosial, manusia seharusnya memiliki sifat tolong menolong, simpati, empati, dan toleransi terhadap sesama agar membentuk masyarakat yang harmonis sesuai norma yang berlaku. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa di era seperti saat sekarang masih banyak pihak - pihak yang masih memiliki stigma negatif dan berperilaku diskiriminatif terhadap disabilitas yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga banyak dari penyandang disabilitas yang menarik diri untuk tidak berpartisipasi di lingkungannya. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa dunia bukan lagi ruang yang aman bagi mereka untuk mengekspresikan diri.

Dalam tulisan ini, saya sebagai penulis yang juga merupakan seorang penyandang disabilitas daksa (fisik) mencoba memaparkan bagaimana lika - liku kehidupan dan reaksi masyarakat terhadap penyandang disabilitas berdasarkan pengalaman pribadi dalam 10 tahun belakangan ini. Tentunya dengan adanya tulisan ini dapat meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat agar tercipta ruang aman bagi disabilitas, baik dari perlakuan maupun aksesibilitas.

Keluarga merupakan lingkungan kecil yang paling dekat dan aman bagi sebagian besar orang, termasuk bagi disabilitas. Sebab, orang - orang terdekat yang disebut sebagai keluarga, terutama orang tua adalah mereka yang seharusnya dapat memahami dan juga pihak yang diharapkan dapat memberikan dukungan dalam kehidupan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, banyak yang lebih memilih untuk berdiam diri dirumah bersama keluarga daripada menghabiskan waktu berada diluar rumah karena dapat meminimalisir terjadinya hal - hal yang ditakutkan saat berada di ruang publik, seperti sekolah atau lingkungan kerja.

Lain halnya ketika seorang penyandang disabilitas berada di lingkungan publik yang dipenuhi oleh masyarakat dengan berbagai ragam pendapat dan pandangannya terhadap disabilitas. Beberapa hal yang pernah saya alami diantaranya adalah adanya pemikiran bahwa disabilitas adalah individu lemah yang tidak bisa melakukan kegiatan apapun, sehingga beberapa pihak berpendapat bahwa tidak diperlukannya partisipasi disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun faktanya adalah disabilitas tentu saja tetap dapat melakukan aktivitas dengan caranya sendiri layaknya masyrakat yang bukan disabilitas.

Perlakuan lainnya adalah rasa iba dari masyarakat terhadap disabilitas yang terkesan sangat berlebihan. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak buruk pada kondisi mental penyandang disabilitas sehingga dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri. Bukan berarti masyarakat tidak boleh menunjukkan rasa simpatinya, tetapi lakukanlah sewajarnya agar menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Menurut saya, sangat tidak mungkin jika disabilitas tidak membaur di lingkungan publik dalam waktu yang lama, karena manusia sebagai makhluk sosial tentunya juga membutuhkan individu lain dalam kehidupannya. Dengan demikian, saya tetap berusaha untuk bisa beradaptasi dan mendekatkan diri dengan masyarakat saat berada di lingkungan publik. Hal utama yang bisa saya lakukan ketika menghadapi perlakuan tersebut adalah saya harus memahami terlebih dahulu bahwa setiap manusia juga memiliki karakteristik yang berbeda - beda, sehingga nantinya akan timbul rasa saling menghargai.

Hambatan ini saya jadikan motivasi bahwa masih sangat diperlukannya usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap disabilitas. Faktor lain yang mempengaruhi terciptanya ruang aman bagi disabilitas adalah terkait ketersediaan aksesibilitas yang layak. Jika membahas tentang disabilitas, tidak hanya sebatas disabilitas fisik, tetapi juga mencakup ragam disabilitas lainnya yaitu disabilitas mental, intelektual, dan sensorik. Masing - masing ragamnya juga memiliki kebutuhan aksesibilitas yang berbeda - beda. Contohnya adalah disabilitas fisik yang membutuhkan bidang miring (ramp), disabilitas pendengaran yang membutuhkan juru bahasa isyarat, atau disabilitas penglihatan yang membutuhkan guiding block. Akan tetapi, ini masih menjadi salah satu hambatan umum yang kerap kali dihadapi oleh penyandang disabilitas.

Ketika mengunjungi fasilitas publik, sering dijumpai ketiadaan sarana yang aksesibel bagi disabilitas. Padahal, kenyamanan di tempat umum adalah hak bagi semua warga negara. Saya sering menemui penyandang disabilitas daksa dengan kursi roda yang kesulitan menuju lantai atas karena digedung tersebut tidak menyediakan bidang miring ataupun lift. Suatu ketika saya pernah menghadiri seminar yang mengikutsertakan penyandang disabilitas. Akan tetapi, ironinya adalah tidak adanya juru bahasa isyarat ataupun subtitle pada materi dan video yang disajikan pada kegiatan tersebut sehingga tentunya menjadi hambatan bagi disabilitas pendengaran untuk mengikuti rangkaian acara secara maksimal.

Selanjutnya, ketika lingkungan sudah menyediakan aksesibilitas yang layak bagi disabilitas, pertanyaan baru yang muncul adalah apakah fasilitas tersebut sudah dimanfaatkan dengan benar atau malah sebaliknya. Saat ini, sudah sering ditemui beberapa transportasi umum yang sudah menyediakan kursi khusus bagi penyandang disabilitas. Tak jarang, banyak orang bukan disabilitas yang justru menggunakan fasilitas tersebut, begitu juga dengan parkiran yang sering ditempati oleh pengendara yang bukan disabilitas. Hal lain yang sempat mencuri perhatian saya adalah ketika guiding block yang harusnya menjadi pengarah jalan bagi penyandang tuna netra yang sedang berjalan kaki, dialihfungsikan menjadi parkiran liar atau tempat berdagang.

Dengan adanya situasi - situasi tersebut tentunya menjadi catatan penting bagi disabilitas untuk mengetahui dan mencari tahu terlebih dahulu keadaan gedung atau lokasi yang hendak dikunjungi apakah sudah tersedianya aksesibilitas bagi disabilitas. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, menciptakan lingkungan yang inklusi membutuhkan peran dari seluruh masyarakat. Meskipun beberapa pihak sudah mulai melakukannya, saya berharap kebutuhan terhadap ruang ramah disabilitas tetap terus dikembangkan. Lingkungan yang inklusi dapat membantu disabilitas dalam berkreasi dan berinovasi tanpa adanya batasan, sehingga mematahkan stigma negatif terhadap disabilitas dan lambat laun akan terwujudnya kehidupan yang setara.

Tentang penulis: Febrianti Syafitri atau biasa dipanggil Fitri adalah seorang penyandang disabilitas fisik yang mengalami kecelakaan pada tahun 2012 lalu sehingga mengharuskan untuk menjalani amputasi kaki kiri hingga atas lutut. Perempuan kelahiran 17 Februari 1997 ini menggunakan alat bantu berupa prostetik (kaki palsu) dalam berkegiatan sehari menulis dan membaca karya sastra. Meskipun memiliki keterbatasan, ia tetap semangat dalam berkarya karena baginya hidup adalah petualangan dan banyak hal menarik yang bisa dilakukan. Saat ini, ia juga aktif bergabung dalam organisasi disabilitas di Kota Padang dengan harapan bisa ikut berperan membantu mewujudkan lingkungan yang inklusi dan ramah disabilitas.

Gangguan Spektrum Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya perbedaan cara kerja otak dibandingkan individu non disabilitas sehingga menimbulkan berbagai kesulitan seperti kesulitan berkomunikasi, kesulitan bersosialisasi dan kesulitan membaca gerakan non-verbal yang diberikan orang lain terhadap individu tersebut. Contoh, saya kesulitan untuk membaca ekspresi ibu saya pada saat dia marah ke saya dan baru mengetahuinya pada saat dia sudah menyatakan secara verbal bahwa ia sedang marah. Sedangkan Narkolepsi adalah gangguan langka yang terjadi pada saraf yang mempengaruhi siklus tidur individu sehingga individu tersebut kesulitan menahan kantuk, dapat tertidur sewaktu waktu secara mendadak, dan merasakan kelelahan yang berlebih sepanjang hari walaupun waktu tidurnya sudah cukup. Saya sudah memiliki diagnosis resmi dari dokter untuk 2 gangguan tersebut. Berdasarkan hal yang saya pelajari, disabilitas ganda yang saya miliki keduanya masuk kategori disabilitas tidak terlihat.

Sayangnya, walaupun sudah memiliki diagnosis untuk 2 gangguan tersebut, reaksi yang ditunjukkan masyarakat sekitar adalah bahwa mereka masih sulit mempercayai bahwa saya memiliki disabilitas. Masyarakat non disabilitas tersebut masih berpikir bahwa disabilitas itu harus yang menggunakan kursi roda, tongkat, memiliki bagian tubuh yang terlihat kurang, atau ciri ciri lain yang terlihat.

Ada juga yang menolak untuk mengakui kevalidan dari disabilitas saya, mereka berpikir bahwa ketidakpekaan saya terhadap bahasa non verbal, kesalahpahaman dalam memahami satire dari orang lain, kesulitan saya menentukan intonasi yang pas pada saat memanggil orang lain, kelakuan saya yang tampak tidak sopan karena saya tiba tiba mengantuk kemudian tertidur pada saat orang lain berbicara, kekakuan badan yang terjadi pada saat emosi saya terlalu memuncak atau terlalu menurun, mereka mengatakan bahwa semua hal tersebut terjadi karena saya yang mengada adakan hal tersebut dan hal tersebut bukanlah disabilitas. Terlepas dari anggapan yang terkadang menyakitkan hati tersebut, saya masih bisa memakluminya karena mereka adalah masyarakat biasa.

Sayangnya, anggapan bahwa disabilitas adalah orang yang bagian tubuhnya ada yang terlihat menghilang dan perlakuan orang yang tidak ingin mengakui kedisabilitasan saya bukan hanya terjadi pada masyarakat awam. Anggapan tersebut juga terjadi pada para ahli yang sering terlibat dengan individu disabilitas seperti dokter, psikolog, dan para ahli lainnya. Mereka mereka yang memegang wewenang untuk membuat kedisabilitasan seseorang menjadi resmi.

Anggapan dari para ahli yang menolak untuk mengakui disabilitas yang saya miliki jauh lebih menyakitkan dibandingkan jika yang melakukannya adalah orang awam non disabilitas. Hal tersebut pernah terjadi kepada saya. Kejadian pertama adalah pada saat saya meminta surat keterangan disabilitas kepada dokter untuk keperluan beasiswa dan kedua adalah pada saat saya meminta surat sakit kepada dokter karena saya sakit akibat narkolepsi yang saya miliki. Saat itu saya sudah mencoba menjelaskan, menunjukkan isi kertas yang ada pada UU No 8 tahun 2016 yang mencantumkan bahwa disabilitas tidak harus yang terlihat.

Kedua dokter tersebut juga sama sama sudah saya tunjukkan diagnosis penyakit yang saya miliki baik autisme maupun narkolepsi sebagai bukti penguat bahwa saya tidak berbohong. Namun dokter dokter itu sama sama menolak untuk mengakui kedisabilitasan saya. Mereka sama sama memiliki pandangan bahwa disabilitas haruslah ada kehilangan fungsi tubuh tertentu yang dapat dilihat oleh mata. Parahnya lagi, dokter yang kedua tidak menganggap narkolepsi itu penyakit. Dokter pada kejadian pertama tidak memberikan surat keterangan disabilitas, dokter pada kejadian kedua tidak memberikan surat keterangan sakit. Pada akhirnya saya mencari dokter lain untuk mendapatkan hal yang saya butuhkan.

Adanya perbedaan antara definisi disabilitas secara teoritis yang tertulis pada aturan terbaru dengan definisi disabilitas praktikal yang diimplementasikan oleh masyarakat adalah fenomena lapangan yang saya tangkap dari kejadian kejadian yang sudah saya alami. Tentunya, kejadian yang sudah saya lalui tersebut membuat saya mempertanyakan kembali mengenai identitas disabilitas yang saya miliki. Selain itu, saya merasa bahwa disabilitas tidak terlihat yang saya miliki tidak dianggap oleh masyarakat. Lebih parahnya lagi, disabilitas yang saya miliki seperti disabilitas yang asing dan terabaikan bahkan diantara para individu maupun komunitas disabilitas lain yang identitas disabilitasnya lebih diakui oleh masyarakat.

Lalu, tindakan apa yang saya lakukan untuk menghadapi perlakuan tidak enak tersebut? Tentu saja saya harus mengenal diri saya, termasuk kondisi disabilitas saya. Dengan pemahaman saya mengenai kondisi saya, saya berharap bisa memberi penjelasan yang mudah dimengerti sehingga lebih banyak masyarakat yang teredukasi. Selain itu dengan mengenali kondisi disabilitas saya sama saja dengan memperbesar peluang saya untuk memaksimalkan potensi yang saya punya. Pada saat potensi saya lebih maksimal, saya bisa berbaur dengan lebih banyak masyarakat dan masyarakat lebih memandang saya. Pada saat masyarakat lebih memandang saya otomatis mereka akan lebih mendengarkan perkataan saya, lebih banyak juga masyarakat yang akan mendengarkan saya pada saat saya berbicara, termasuk apabila saya sedang mencoba mengedukasi orang lain tentang disabilitas.

Agar masyarakat lebih menyadari keberadaan disabilitas tidak terlihat, saya mengajak para individu dengan disabilitas tidak terlihat agar lebih mengenali disabilitas yang mereka miliki, memaksimalkan potensi diri agar menjadi individu yang lebih dipandang masyarakat dan lebih berani menyuarakan identitas disabilitas mereka. Selain itu untuk para ahli maupun masyarakat yang terlibat langsung dengan orang disabilitas dengan frekuensi bertemu yang cukup sering, tolong perbarui kembali pengetahuan yang dimiliki mengenai disabilitas. Pelajari mengenai UU No 8 tahun 2016, pelajari juga mengenai pengetahuan terbaru mengenai disabilitas yang ada di mancanegara. Jangan terfokus pada paradigma bahwa disabilitas hanya untuk orang orang yang ada kata tuna di depannya atau hanya terfokus pada pandangan bahwa disabilitas haruslah hal yang terlihat.

Arti disabilitas yang sekarang lebih luas dibandingkan itu. Contoh, orang dengan penyakit kronis bisa dianggap disabilitas asal memiliki kekurangan yang mempengaruhi secara fisik maupun mental sehingga kekurangan tersebut membuat orang tersebut kesulitan untuk menjalankan kehidupan sehari hari. Dengan beraninya para individu dengan disabilitas tidak terlihat untuk menyuarakan mengenai disabilitasnya dengan cara yang tepat, stigma yang sudah terjadi terhadap individu dengan disabilitas tidak terlihat akan berkurang. Dengan adanya pengetahuan yang sudah diperbarui oleh para ahli yang aktif berurusan dengan individu dengan disabilitas mengenai definisi dari disabilitas maka akan muncul kebijakan yang lebih inklusif untuk semua pihak, baik itu untuk individu dengan disabilitas, individu non disabilitas, individu dengan disabilitas yang terlihat maupun individu dengan disabilitas yang tidak terlihat.

Tentang penulis: Perkenalkan saya Rahmat Fahri Naim. Saya lahir di Surabaya, dan sekarang tinggal di Bekasi. Saya memiliki Gangguan Spektrum Autisme sejak lahir dan Gangguan Narkolepsi yang terjadi sejak tahun 2017.

Jakarta, 6 Desember 2022 - Penyandang disabilitas dinilai sebagai pihak yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan kaji cepat jaringan organisasi disabilitas, 80,9 persen responden disabilitas di Indonesia terdampak pandemi dari sisi komunikasi, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Survey ini melibatkan 1.683 responden dari beragam jenis disabilitas dari 216 Kota/Kabupaten pada 32 Provinsi di Indonesia pada 10-24 April 2020 lalu (ppdi, 2020).

Salah satu sisi yang terdampak yakni sisi Komunikasi sebagai aspek penting bagi manusia untuk bersosialisasi terutama di dunia kerja. Setiap penyandang disabilitas mempunyai cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berbeda. Teman Tuli mengoptimalkan organ penglihatan untuk mengidentifikasi subjek dan objek, sedangkan teman netra memaksimalkan kemampuan audio. Disisi lain, disabilitas ganda juga memiliki cara berkomunikasi tersendiri untuk memahami sebuah pesan.

Oleh karena itu meyakinkan para pemberi kerja dan perekrut tenaga kerja bahwa memahami cara komunikasi yang tepat akan dapat menciptakan komunikasi efektif di dunia kerja. Memahami cara komunikasi dengan penyandang disabilitas juga dapat menjadi langkah awal untuk membangun percaya diri merekrut penyandang disabilitas menjadi bagian dari perusahaan/organisasi. Sehingga, mereka yang semula belum yakin merekrut penyandang disabilitas menjadi siap rekrut dan bekerja bersama disabilitas.

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional tahun 2022, Suarise bersama Hear Me dan DNetwork Jaringan Kerja Disabilitas kembali menyelenggarakan Webinar Disability Confident Employer bertajuk Effective communication for employer to employee with disability atau Komunikasi Efektif untuk Pengusaha kepada para Pekerja Disabilitas. Acara ini merupakan sebuah wadah yang mempertemukan ekspektasi para pemberi kerja dengan kebutuhan dunia industri untuk meningkatkan peluang kerja bagi disabilitas.

Best Practise Komunikasi Efektif dengan Tenaga Kerja Disabilitas

Acara yang diperuntukkan bagi praktisi HR, perekrut tenaga kerja, pendiri perusahaan, komunitas disabilitas, dan peminat isu disabilitas ini menghadirkan perwakilan pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, perusahaan lokal dan multinasional, serta perwakilan organisasi internasional. Kehadiran mereka menjadi referensi best practices dalam mewujudkan komunikasi efektif dalam proses merekrut tenaga kerja disabilitas mulai dari tahap perekrutan dan wawancara, tahap onboarding (magang), hingga daily communication (komunikasi sehari-hari).


Perwakilan dari Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yakni Koordinator Bidang Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Sekar Pratiwi Adji menjelaskan bahwa isu disabilitas merupakan salah satu isu prioritas pemerintah dalam KTT G20 yang menghasilkan dokumen action plan market integration of present with disability. “Saya berharap dengan momentum dan komitmen hasil G20 Presidensi Indonesia, maka implementasi ULB bidang ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat meningkatkan dan memperkuat layanan pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Kemudian perusahaan, BUMN/BUMD dapat semakin meningkatkan penempatan tenaga kerja disabilitas sesuai kota penempatan amanat UU No.8 tahun 2016,” jelas Sekar.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia memaparkan peran komisi nasional disabilitas (KND) dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas serta mengingatkan pentingnya aspek komunikasi bagi penyandang disabilitas. “Penting untuk menghapuskan stigma terhadap penyandang disabilitas. Kedua kesadaran penuh bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang sama terlepas dari kondisi disabilitas atau non disabilitas. Ketiga, menciptakan kesempatan bagi penyandang disabilitas yang akan bermanfaat bagi semua orang. Keempat, memastikan pelibatan individu maupun kelompok serta organisasi disabilitas. Ada slogan dari kami Nothing is about us without us. Kami berharap pelibatan kami dalam proses pembangunan mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” paparnya.

Pada sesi mengenai rekrutmen dan wawancara pekerja disabilitas, Human Capital Director Bank Danamon, Heriyanto Agung Putra menegaskan bahwa Disabilitas merupakan isu lintas sektoral yang membutuhkan perhatian seluruh stakeholder, seperti pemerintah, industri, lembaga masyarakat, dan sektor lainnya.
“Untuk itu, di sisi SDM, salah satu strategi yang kami lakukan adalah mengelompokan unit-unit kerja yang mungkin part (menjadi bagian) pemberdayaan pekerja dengan keterbatasan fisik itu dengan menempatkan pegawai dengan disabilitas fisik di area-area seperti middle office, back-office, dan IT. Justru (penempatan mereka) kuat disana kualitasnya karena kondisi pekerjaan tersebut lebih mendukung”, tegas Heri.

Disisi lain, Wisnu Saputra, Project Manager DNetwork lebih menekankan pentingnya melakukan konfirmasi kebutuhan akomodasi kepada calon pegawai disabilitas, khususnya pada saat tahap interview.“Kalau saya (mengarahkan) ke perusahaan, Saya akan menomorsatukan akomodasi. Apakah perusahaan bisa menyediakan akomodasi yang diminta dan diinginkan agar karyawan bisa bekerja dengan baik. Kalau misalnya (penyediaan) akomodasi ini tidak bekerja (berjalan dengan baik), perubahan responsibility akan menjadi pilihan terakhir,” tuturnya.

Sebagai pegawai yang berlatar belakang teman tuli, Novita Pangestika, administrasi (outsourching) Bank Mandiri menyampaikan pengalamannya pada saat interview. Kala itu Novita mengalami ketiadaan juru bahasa isyarat, karena perusahaan mulanya menganggap bahwa disabilitas tidak membutuhkan pendamping.
“Pada saat itu bisa komunikasi (dengan teman tuli) dengan cara menulis. Komunikasinya pelan-pelan. Kalau tidak tahu, minta diulang saja. Setelah saya diterima dan melalui training, dari pihak perusahaan memberikan fasilitas JBI,” ungkapnya.

Sesi pertama ini menyimpulkan agar setiap organisasi/perusahaan untuk tidak berasumsi. Sebaliknya mereka diajak untuk selalu membuka ruang komunikasi khususnya mengenai kebutuhan komunikasi dan cara komunikasi yang baik dengan teman-teman disabilitas. Dalam pembukaan lowongan kerja, setiap organisasi/perusahaan juga diharapkan dapat memastikan sisi aksesibilitas digital (diantaranya keterbacaan, alt-text, kontras warna) terpenuhi mengakomodasi perbedaan ragam disabilitas. Selanjutnya pada sesi Onboarding, Project Manager Suarise, Theresia Suganda menegaskan bahwa proses ini penting dilakukan untuk dapat memastikan bahwa lingkungan kerja yang akan dimasuki oleh tenaga kerja difabel benar-benar siap merangkul mereka. “Pengalaman kami memfasilitasi on boarding bagi talents tunanetra Suarise, kami menemukan banyak ketidaktahuan perusahaan misalnya apakah harus menyediakan laptop khusus untuk tunanetra? Sebaliknya, para talents juga ada pertanyaan mengenai apakah harus bekerja dari kantor atau bisa dari rumah? Pertanyaan ini mendasari kami melakukan asesmen kepada perusahaan dengan memberi pertanyaan seputar penempatan kerja, learning buddy, hingga tools khusus dalam koordinasi kerja, baru kemudian disesuaikan dengan para talents.”

Perspektif berbeda datang dari I Made Wikanda, teman netra yang bekerja sebagai Disability Inclusion Officer dari UNICEF. Menurut Wikan, proses onboarding sangat krusial untuk menjamin tenaga kerja difabel dapat berperan aktif dan berkontribusi dalam perusahaan. “Kalau di UNICEF proses onboarding dilakukan secara inklusif dengan menyediakan fasilitas, akomodasi, dan lingkungan yang bisa menciptakan kontribusi dari difabel. Pada akhirnya (tenaga kerja) difabel bukan sekadar angka, tapi lebih kepada bagaimana mereka bisa berperan aktif, meaningfully engage, atau terlibat dalam proses pekerjaan dan bisa berkembang dalam karier, ujar Wikan”. Sesi ini mengajak agar perusahaan/organisasi berkontribusi membuat produk digital yang dapat diakses bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Inklusi merupakan sebuah proses menciptakan lingkungan dan interaksi antar individu yang hangat, terbuka, dan akomodatif bagi siapapun, terlepas dari latar belakang, ras, etnis, agama, ataupun jenis disabilitas yang dimiliki.

Kemudian pada sesi Daily Communication, teman netra sekaligus Heads of Engagement Think Web, M Reza Akbar menyatakan bahwa tantangan terbesar komunikasi baginya terjadi pada awal bergabung dalam perusahaan. Mulanya ia merasa komunikasi agak kaku, tetapi ia yakin bahwa dengan membuat dirinya proaktif akan jauh lebih mencair. “Enggak usah ada batasan dalam komunikasi, anggap sama saja. Hal tricky saat zaman mulai online, kadang saat komunikasi via chat mereka suka lupa kirim screenshot. Saya selalu ingetin ‘wah dark jokes, saya kan tunanetra (sambil bercanda).’ Sehingga saya perlu mengedukasi temen-temen supaya lebih fleksibel komunikasi sama tunanetra,” ungkap Ega.

Tine E Efendi VP of Customer Satisfaction Management Bukalapak menuturkan bahwa dari pihak perusahaan, khususnya pegawai nondifabel saat bertemu dengan pegawai difabel merasa ada ketakutan pada awalnya. Namun rasa penasaran yang tinggi membuat mereka tergerak untuk mencari tahu sendiri bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan rekan kerja difabel. “Awalnya takut, tapi lama-kelamaan bisa ngobrol dan akhirnya bisa terlibat. Jadi jangan takut untuk memulai, misalnya terlalu takut kalau ada difabel nanti harus menyediakan fasilitas, bagaimana cara berkomunikasinya yang akhirnya bikin kita tidak mulai-mulai. Kami lakukan dulu aja karena kami punya believe.”

Ivan Octa Putra Head of Branding Hear Me sekaligus teman tuli menambahkan bahwa cara berkomunikasi efektif dengan dirinya kepada rekan kerja dimulai dengan mengajari bahasa isyarat dasar, dan jika masih belum paham bisa bertukar teks. Setelah itu baru diajari budaya tulinya, dan diajari terus-menerus, hingga lama-lama berkembang menggunakan bahasa isyarat lebih baik. “Umumnya teman dengar menggunakan bahasa tinggi, biasanya kami minta tolong agar bahasanya lebih sederhana. Kalau ada bahasa Inggris atau istilah bisnis kami akan bertanya maksudnya apa. Kemudian, Ada beberapa teman tuli komunikasi menggunakan chat panjang kurang bisa dipahami. Kalau begitu, kami biasanya menggunakan video call, dijelaskan ulang dan jauh lebih paham.”

Sebagai solusi untuk menciptakan komunikasi efektif, Senior Product Desain Lead salah satu e-commerce sekaligus seorang disleksia, Dian Soraya memiliki tips tersendiri. Aya memandang bahwa cara berkomunikasi setiap orang seperti spektrum, memiliki perbedaan satu sama lain, meskipun orang tersebut bukan seorang difabel.
“Saya punya kebijakan personal user manual. Saya minta setiap orang membuat manual diri masing-masing sebagai manusia. Saya buat pointers: style kerja, value, kesulitan, dan how to make best communication with you? Kemudian bagaimana saya bisa membantu dia, dan apa yang sering orang lain salah artikan terhadapnya. Sehingga setiap orang punya ruang tentang dirinya dan bisa saling mengisi kelebihan dan kekurangannya. Jadi kita tahu What is the best way to approach you,” jelasnya.

Sebagai sesi penutup, komunikasi antara teman disabilitas maupun non disabilitas memerlukan interaksi dua arah. Teman non disabilitas diharapkan lebih aware dengan menegur maupun menyapa terlebih dulu. Sebaliknya teman disabilitas dapat lebih proaktif atau mengungkapkan atau berani speak up sehingga komunikasi sehari-hari tersebut dapat berjalan dengan baik.

Tentang Penyelenggara


Kegiatan ini diselenggarakan oleh Suarise, Hear Me, dan DNetwork untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2022.

Suarise adalah perusahaan sosial independen yang fokus mempromosikan yang memungkinkan kesamaan akses dan kesempatan bagi orang-orang dengan gangguan penglihatan (tunanetra) di industri digital dan platform online. Sejak didirikan pada 2017, Suarise menyediakan tiga layanan utama. Pertama, memberikan pelatihan vokasi terkait teknologi digital bagi tunanetra dan low vision agar dapat bekerja secara independen maupun sebagai tenaga tetap dalam perusahaan. Kedua, Suarise membuka konsultasi dan riset aksesibilitas digital, serta persiapan onboarding bagi perusahaan yang akan mempekerjakan disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision. Ketiga, Suarise menyediakan jasa penulisan konten digital yang dilakukan para talents Suarise tunanetra dan low vision.

Hearme merupakan sosial startup yang menyediakan aplikasi penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) pertama dengan tampilan 3D animasi untuk menjembatani komunikasi antara Teman Tuli dan Teman Dengar. Selain aplikasi, berbagai inovasi dan terobosan terus dilakukan untuk misi mendukung terciptanya ekosistem yang inklusif. Pada tahun 2022, Hear Me melakukan pengembangan produk untuk memberikan layanan masyarakat dengan menyediakan akses fasilitas yang ramah Tuli baik di fasilitas umum maupun tingkat korporasi dengan empat layanan yang sediakan yaitu, Layar Informasi Bahasa Isyarat, JBI Corporate, Layar Voice to Motion, dan Konten Video Animasi/Juru Bahasa Isyarat.

DNetwork adalah organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas di Indonesia melalui kesempatan kerja. DNetwork menyediakan dua layanan utama. Pertama bagi para pencari kerja, DNetwork memberikan informasi kerja, pelatihan keterampilan dan profesionalisme untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan para pencari kerja, serta konsultasi pengembangan pribadi dan karir sesuai dengan minat dan kemampuan. Kedua bagi perusahaan, DNetwork membuka lowongan kerja untuk penyandang disabilitas, menyediakan konsultasi tentang bekerja dengan para penyandang disabilitas sebagai bagian dari persiapan perusahaan untuk bekerja dengan para penyandang disabilitas, serta melakukan diskusi dan pendampingan proses rekrutmen berdasarkan permintaan perusahaan dan ketersediaan Tim DNetwork.

Kalian yang pernah melamar pekerjaan, pernah membaca atau mendengar kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani" dalam persyaratan pekerjaan? Atau justru kalian pernah membuka lowongan pekerjaan dengan menggunakan kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani"?

 

 

Tau ga kalian kalau ternyata persyaratan "Sehat Jasmani dan Rohani" dapat bersifat diskriminatif terumata bagi pelamar dengan disabilitas loh!

Gaol (2020) dalam penelitiannya mengatakan kalau hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam tahap rekrutmen tenaga kerja, di mana sehat jasmani dapat diartikan sebagai "keadaan fisik tanpa menyandang disabilitas tertentu".

Gaol (2020) juga menambahkan kalau persyaratan ini cukup bermasalah karena dapat menimbulkan banyak arti bagi pembacanya. Kebanyakan pembaca akan mengartikan "Sehat Jasmani dan Rohani" sebagai kondisi yang "sempurna" yang berujung berkurangnya akses masuk kerja bagi temen temen disabilitas.

 

Gambar berisi cuplikan berita dari kompas.com mengenai seorang dokter gigi yang

 

Cerita serupa muncul di tahun 2019 di mana seorang Dokter Gigi yang sudah dinyatakan lulus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, harus tidak diluluskan hanya karena Beliau adalah seorang pengguna kursi roda. Jangan sampai cerita ini berulang lagi ya!

 

Reference:

Gaol, H. S. L. (2020). Syarat sehat jasmani sebagai diskriminasi tenaga kerja difabel. INKLUSI, 7(2), 207. https://doi.org/10.14421/ijds.070202