Dalam kemajuan teknologi saat ini, kita telah menyaksikan perubahan besar dalam lingkungan kerja. Salah satu perubahan paling terlihat adalah bergesernya kita ke arah bekerja jarak jauh. Meskipun begitu, kita tidak boleh melupakan pentingnya memasukkan karyawan dengan disabilitas dalam proyek kolaboratif. Ini tetap menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan yang ingin mempertahankan nilai-nilai inklusif.

Strategi yang dapat dilakukan

Sekarang, mari kita bahas bagaimana strategi perusahaan agar dapat merancang proyek kolaboratif yang memperhitungkan berbagai jenis disabilitas dan memastikan kontribusi yang efektif.

Penugasan Peran yang Tepat

Salah satu kunci utama dalam mengintegrasikan karyawan dengan disabilitas dalam proyek kolaboratif adalah dengan memahami  keahlian dan keterampilan dari setiap individu secara cermat. Perusahaan harus memastikan bahwa tugas yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan keterampilan karyawan tersebut. Ini berarti mencari peran yang dapat mereka lakukan dengan baik, dengan memperhitungkan kebutuhan khusus yang mungkin mereka miliki. Sebagai contoh, karyawan dengan disabilitas visual mungkin lebih efektif dalam analisis data atau pemrosesan teks, sementara yang memiliki disabilitas motorik dapat menonjol dalam penelitian dan perencanaan. 

Kolaborasi Online yang aksesibel:

Ketersediaan platform kolaborasi yang mendukung pekerjaan tim, terlepas dari jarak fisik, adalah kunci. Dalam hal ini, pemilihan alat kolaborasi yang memperhitungkan beragamnya anggota tim adalah hal yang sangat penting. Aplikasi kolaboratif yang mendukung aksesibilitas. Seperti dukungan pembaca layar atau penggunaan navigasi keyboard, memastikan semua anggota tim dapat berpartisipasi dengan baik. Pastikan juga bahwa tim memahami cara menggunakan alat-alat ini dan memiliki akses ke dukungan teknis ketika diperlukan.

Komunikasi yang Ramah Disabilitas:

Komunikasi yang efektif adalah pondasi dari kolaborasi yang sukses. Perusahaan harus memastikan bahwa cara komunikasi yang digunakan memperhitungkan berbagai kebutuhan komunikasi yang mungkin dimiliki oleh karyawan dengan disabilitas. Misalnya, karyawan dengan disabilitas pendengaran dapat memerlukan terjemahan bahasa isyarat atau teks alternatif. Jadwal rapat yang fleksibel dan memberikan pemberitahuan sebelumnya memungkinkan karyawan untuk menyesuaikan lingkungan kerja mereka sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Baca juga: 

Ramah Disabilitas dengann Innklusi dan Kesetaraan Kerja 

Contoh Penerapan

kita dapat menemukan sejumlah perusahaan terkemuka yang telah menunjukkan dukungan sungguh-sungguh terhadap inklusi karyawan dengan disabilitas dalam proyek kolaboratif. Salah satu contoh terbaik adalah XyzTech, sebuah perusahaan teknologi ternama yang telah mengambil langkah-langkah luar biasa dalam hal ini. Mereka tidak hanya berfokus pada memastikan alat-alat kerja mereka sesuai dengan pedoman aksesibilitas, tetapi juga memberikan perhatian khusus dengan membentuk tim dukungan internal. Tim ini hadir untuk memberikan bantuan kepada karyawan dengan disabilitas yang mungkin menghadapi kendala teknis dalam menjalankan tugas mereka.

Langkah konkret seperti ini mencerminkan semangat dan komitmen sejati XyzTech untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah disabilitas. Ini  merupakan sebuah upaya nyata untuk memberikan dukungan dan peluang kepada semua anggota tim, tanpa terkecuali. Tindakan positif seperti ini adalah contoh bagaimana perusahaan dapat membuat perubahan yang berarti dan memastikan bahwa semua karyawan dapat berkembang dan memberikan kontribusi mereka secara optimal.

Saat mengintegrasikan karyawan dengan disabilitas dalam proyek kolaboratif, kita akan menghadapi tantangan nyata. Namun, tantangan ini harus dilihat sebagai kesempatan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan beragam. Selain itu, kami ingin mengajak Anda untuk berkolaborasi dengan DNetwork, sebuah platform jaringan kerja disabilitas yang berkomitmen pada inklusifitas dunia kerja. Bersama-sama, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah disabilitas dan memberi semua individu kesempatan untuk mengembangkan potensi dan berkontribusi. 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi kami via Email di; [email protected].

Dalam masyarakat yang semakin menyadari inklusi dan kesetaraan, penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah dan inklusif bagi semua individu, termasuk disabilitas. Disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia yang harus kita hormati, bukan menjadi penghambat kesempatan kerja dan peningkatan karir.

Disabilitas dan Dampaknya Bagi Dunia Kerja

Disabilitas mencakup berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi mobilitas fisik, kemampuan sensorik, kesehatan kognitif atau mental seseorang. Sayangnya, asumsi dan stereotip negatif tentang disabilitas masih ada di tengah masyarakat, termasuk di dunia kerja. Hal ini dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, yang mengarah pada terbatasnya akses ke pekerjaan dan peluang karir.

Dampak dari stigma dan diskriminasi ini sangat merugikan masyarakat dan perusahaan. Banyak penyandang disabilitas berbakat dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi organisasi, tetapi peluang ini terkadang terbatas karena berbagai hambatan dalam inklusi dan kesetaraan.

Pentingnya Inklusi dan Peluang Kerja untuk Disabilitas

Mengkampanyekan inklusi dan kesetaraan untuk kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan tugas bersama seluruh masyarakat, termasuk perusahaan dan pemerintah. Beberapa alasan mengapa inklusi dan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas penting adalah sebagai berikut:

Keanekaragaman dan Kreativitas

Menyediakan lingkungan kerja yang inklusif akan memunculkan bakat dan perspektif baru. Ini mendorong kreativitas dan inovasi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesuksesan perusahaan.

Kepuasan Karyawan

Menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah disabilitas akan meningkatkan kepuasan karyawan secara keseluruhan. Karyawan yang merasa dihargai dan didukung cenderung lebih produktif dan berdedikasi.

Reputasi Perusahaan

Perusahaan yang mengadopsi praktik inklusif akan memiliki reputasi yang baik sebagai tempat kerja yang adil. Ini akan menarik bakat terbaik dari berbagai latar belakang.

Kepatuhan Hukum

Negara telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi hak-hak pekerja penyandang disabilitas serta mempromosikan inklusi dan kesetaraan di tempat kerja. Menyediakan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan persyaratan hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan.

Langkah-langkah untuk Membangun Dunia Kerja yang Inklusif

Membangun dunia kerja yang inklusif dan ramah disabilitas membutuhkan komitmen semua pihak. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif:

Edukasi dan Pelatihan

Memberikan pelatihan dan edukasi kepada seluruh karyawan tentang inklusi dan kesetaraan disabilitas merupakan langkah penting untuk mengubah persepsi dan sikap yang mungkin masih ada.

Tinjauan Kebijakan

Meninjau kebijakan dan praktik perusahaan untuk memastikan tidak ada hambatan atau diskriminasi terhadap karyawan penyandang disabilitas.

Akomodasi

Bekerja dengan penyandang disabilitas untuk menyediakan akomodasi yang diperlukan agar mereka dapat bekerja secara efektif.

Rekrutmen yang Adil

Memastikan bahwa proses rekrutmen tidak diskriminatif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pelamar, termasuk penyandang disabilitas.

Pengembangan Karir

Memberikan kesempatan kepada tenaga kerja disabilitas untuk mengembangkan karir melalui pelatihan dan promosi sesuai dengan prestasinya.

Baca juga: 

DNetwork Dukung Penyandang Disabilitas Melalui Aku Mampu: Bekerja di Era Digital

Kolaborasi

Berkolaborasi dengan lembaga atau organisasi yang berfokus pada pewujudan lingkungan kerja yang inklusif, dapat membantu menemukan talenta berbakat dari penyandang disabilitas.

Menyediakan  kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan langkah penting dalam menciptakan dunia kerja yang lebih beragam dan adil. Perusahaan memiliki peran kunci dalam mendorong perubahan ini dengan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.

Salah satu langkah konkrit untuk menciptakan inklusi dan kesetaraan dalam dunia kerja adalah berkolaborasi dengan DNetwork sebagai mitra strategis. DNetwork adalah platform inovatif yang bertujuan untuk menjadi penghubung antara penyandang disabilitas dan dunia kerja. Platform ini menjadi jaringan bagi perusahaan dan organisasi untuk mencari dan merekrut karyawan berbakat dengan berbagai latar belakang, termasuk disabilitas.

Bagi penyandang disabilitas, DNetwork merupakan pintu masuk untuk mengeksplorasi peluang karir, mengasah keterampilan, dan berkontribusi pada dunia kerja.

Jadi, mari bergabung bersama DNetwork dan berperan aktif dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif dan adil untuk semua. 

Temukan pentingnya inklusi dan kesetaraan bagi karyawan disabilitas dalam dunia kerja. Menuju lingkungan kerja yang inklusif bersama DNetwork. 

Ketika kita berbicara tentang perluasan kesempatan kerja disabilitas, kita juga berbicara tentang membuka pintu menuju impian dan potensi yang mungkin dibatasi oleh hambatan fisik dan sosial. Di era inklusivitas dan kesempatan yang setara, mengupayakan akses yang sama terhadap karir bagi semua individu merupakan tugas mendesak dan panggilan moral.


Upaya untuk mengatasi tantangan
Keberagaman adalah kekayaan, dan memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang sama terhadap peluang karir adalah prinsip mendasar. Artikel ini bertujuan untuk menyoroti betapa mendesaknya upaya ini, serta menyoroti potensi dan aspirasi luar biasa yang dimiliki kaum muda penyandang disabilitas. Lebih dari sekedar menyediakan lapangan kerja, ini juga tentang memberi mereka kesempatan untuk berkembang, berkontribusi dan mewujudkan impian mereka.


Tantangan Pendidikan dan Karir
Langkah pertama dalam mendukung kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas muda adalah mengatasi tantangan yang mereka hadapi dalam mencapai pendidikan dan memasuki dunia kerja. Mereka seringkali menghadapi hambatan fisik, seperti terbatasnya aksesibilitas, serta hambatan sosial dan ekonomi yang mungkin membatasi peluang mereka. Tak hanya itu, stigma dan persepsi negatif juga bisa menjadi kendala dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, penting untuk merangkul pendidikan inklusif dan menciptakan lingkungan di mana penyandang disabilitas dapat tumbuh dan berkembang.


Pentingnya Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif berperan penting dalam mempersiapkan generasi muda penyandang disabilitas menghadapi tantangan di dunia kerja. Dalam lingkungan pendidikan inklusif, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keterampilan akademis, namun juga belajar menghargai perbedaan dan bekerja secara efektif dalam kelompok yang beragam. Pendidikan ini memberikan landasan yang kokoh untuk membangun karir yang sukses. Melalui integrasi yang lebih baik dalam sistem pendidikan, generasi muda ini akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya tanpa batasan.


Peran Sekolah dalam Pendidikan Keterampilan
Sekolah mempunyai tanggung jawab besar dalam memberikan dukungan kepada generasi muda penyandang disabilitas. Selain memberikan pendidikan akademis, sekolah juga dapat mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, dan pemecahan masalah yang penting dalam dunia kerja. Program pendidikan keterampilan juga harus dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan individu, membantu mereka mengasah keterampilan sesuai minat dan potensinya. Dengan memberikan pelatihan yang relevan, sekolah dapat membantu generasi muda penyandang disabilitas agar lebih siap menghadapi tantangan yang ada di dunia kerja.


Artikel terkait:
Pengen Rekrut Talent Dengan Disabilitas, Tapi Ga Tau Mulai Dari Mana?


Program Pelatihan dan Magang
Untuk menutup kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja, program pelatihan dan magang merupakan langkah penting. Program ini tidak hanya memberikan kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan yang telah mereka pelajari, namun juga membantu generasi muda penyandang disabilitas mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian. Melalui pengalaman nyata di lingkungan kerja, mereka dapat memahami dinamika industri dan merasa lebih siap menghadapi tuntutan dunia profesional. Program ini juga membuka kesempatan bagi perusahaan untuk mengenal calon karyawan dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam.


Pendampingan dan Dukungan
Pendampingan merupakan unsur yang sangat penting dalam membantu generasi muda penyandang disabilitas mencapai kesuksesan. Mentor dapat memberikan panduan berharga, berbagi pengalaman pribadi, dan membantu mereka merumuskan tujuan karier yang jelas. Selain itu, dukungan emosional dari seorang mentor dapat membantu mengatasi perasaan ketidakpastian dan kecemasan yang sering muncul di tengah tantangan dalam mengupayakan kesempatan kerja disabilitas. Koneksi dalam pendampingan juga membuka pintu bagi generasi muda untuk membangun jaringan yang kuat, untuk dapat membantu mereka dalam mencari pekerjaan dan pengembangan karir.


Kerjasama dengan Perusahaan
Penting untuk melibatkan perusahaan dalam upaya mendukung peluang untuk kesempatan kerja disabilitas. Kolaborasi antara lembaga pendidikan dan perusahaan dapat menghasilkan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri. Pengusaha juga dapat berperan dalam menyediakan magang, pekerjaan paruh waktu, atau bahkan pekerjaan penuh waktu bagi mereka yang siap. Dengan membuka pintu untuk kolaborasi semacam ini, kita tidak hanya menciptakan peluang bagi generasi muda penyandang disabilitas, namun juga mendorong perusahaan untuk mengadopsi inklusivitas dalam budaya organisasi mereka.


Mendukung kesempatan kerja disabilitas dan mengupayakan untuk membukakan peluang kerjanya merupakan langkah penting menuju masyarakat inklusif. Melalui pendidikan inklusif, pelatihan dan pendampingan, kita akan membuka pintu menuju potensi yang tidak terbatas. Bergabunglah dengan kami di DNetwork, platform jaringan kerja disabilitas, melalui email atau WhatsApp, dan ikuti juga berbagai kegiatan serta info pengembangan karir disabilitas di instagram kami.


Mari bersama-sama menciptakan dunia kerja yang beragam dan inklusif.

Artikel dibuat oleh Ismail, kontributor Netra yang berkolaborasi dengan Suarise Indonesia.

READY TO WORK: GREEN ENTREPRENEURSHIP

Turning Ideas into Marketable Products and Services

 

The Training

In collaboration with Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) and Citi Foundation, DNetwork has successfully conducted an entrepreneurship program in 2023 called Ready to Work: Green Entrepreneurship. This entrepreneurial program aimed to assist young entrepreneurs with disability to realise their business ideas into marketable products and services.

 

Ready to Work: Green Entrepreneurship started on the 22nd of February 2021 with 20 selected youth with disability who had diverse business ideas and came from different regencies in Bali. Participants received eight sessions of entrepreneurial training from February to May. This entrepreneurial training included an introduction to green entrepreneurship, planning for business strategy, financial planning, business implementation, and how to create a pitch deck.

 

 

The Mentorship

These 20 participants were then required to create a business proposal (individually or as a group) and compete for grant funds of as much as 2 million Rupiahs per business idea and one month of mentoring sessions to establish their businesses. In the end, 13 people from 10 business ideas could successfully launch their businesses. From the mentorship sessions, participants focused more on researching and developing their products & services, building branding and marketing strategies, and preparing their pitch decks for the market day.

 

 

Business Owners and Their Businesses

After five months of training and mentoring, the participants had successfully established their products and services. On the 14th of July 2023, 13 participants had the opportunity to showcase their businesses at the Annika Linden Centre.

 

Sunar Sanggita by Wiguna

Wiguna is a person with blindness and reduced function of hearing. He established Sunar Sanggita based on his interest in music. Sunar Sanggita offers music courses, a self-recording studio and entertainment for events. During the showcasing day, three people signed up for Sunar Sanggita’s music courses. Moreover, Sunar Sanggita gained some new networks for future potential events.

Wiguna and his team are presenting Sunar Sanggita to the guests.

 

Bali Mahasadu by Aditya and Ari

Gus Adit established Bali Mahasadu in 2018 as a massage clinic specialising in ‘blind massage therapy’. However, this year, Gus Adit finally made his dream come true to create his herbal products: herbal incense sticks, hot and aromatic massage oil, and red ginger powder. Ari, who is also a massage therapist (also recently married to Gus Adit), decided to be fully involved in Bali Mahasadu product development, from prototyping to brand development. During the showcasing day, Bali Mahasadu sold almost 100% of the products they prepared and received nearly IDR 1,500,000. Moreover, Bali Mahasadu received several invitations from the guests to get involved in a podcast and film, become speakers at a business event, and participate in product collaboration.

 

Gus Adit (left) and Ari (right) are posing behind their products.

 

Yuki Camilan by Yuki

From her enjoyment of cooking food, Yuki established a culinary business called Yuki Camilan. Yuki is a young, energetic lady with low vision who loves cooking fried Indonesian snacks. Her specialty is lumpia (spring rolls), pisang goreng (fried bananas), and tahu isi (fried tofu filled with vegetables). On the showcasing day, Yuki could earn over IDR 900,000 and invitations as an event snack vendor.

 

Yuki explains her snacks to the guests.

 

Dupa Kartika by Kartika

Because of the high demand for incense sticks for Balinese rituals, Kartika took the opportunity to create her incense stick business called Dupa Kartika. Dupa Kartika is available in three fragrances: Mawar (rose), teratai (lotus), and cempaka (magnolia). During the showcasing, Kartika sold 58 boxes of her incense sticks and received IDR 1,160,000. Moreover, Kartika also received an opportunity to collaborate with an investor to produce her incense sticks in a big batch. With support from her teachers and classmates at YPK Bali, Kartika received many online orders that should be delivered within a week. Kartika can also empower her classmates to help her market Dupa Kartika.

Kartika poses with her teacher and the head of organisation of YPK Bali

 

Indah Dewi Make Up by Indah

Indah is a student from Special Needs School Number 2 of Denpasar. She has a high interest in make-up and a hairdo and has been voluntarily helping her school do make-up and a hairstyle for events and graduation. Because her friends requested make-up and a hairdo, Indah turned this demand into an Indah Dewi Make-Up business. Indah received much appreciation from the guests for her beautiful techniques in applying make-up and styling hair. Although she is a person with deafness, she can communicate well with her clients.

Indah (right) showing off her makeup and hairdo she did on her model (left).

Crystal Foo Perfume by Crystal

Crystal is an energetic student and has a high interest in fragrance. Assisted by her parents, she created her perfume brand using her name, Crystal Foo Perfume.  Crystal Foo Perfume has 26 male, female, and unisex aromas packaged in 30 ml bottles. During the showcasing day, assisted by her teacher as a sign language interpreter, she sold 47 perfume bottles and obtained IDR 2,350,000 in one day. Crystal had the highest revenue on the showcasing day compared to other businesses.

Crystal and her products before the showcasing started.

 

Annora PAS by Prima

Prima is a youth with physical disability with plenty of creative ideas. She created Annora PAS, which focuses on a craft made from popsicle sticks, such as coasters, bookshelves, and wall decorations. Prima sold seven products of arts and received IDR 112,000. Moreover, Prima received an offer from the Women with Disability Association in Bali as a tenant during their events.

Prima explains her businesses and products to the guests.

 

Kopi Bayang by Gus De and Jery

Kopi Bayang became the most visited booth during the showcasing day. Initiated by Gus De and Jery, two best friends with blindness who are also fascinated with coffee, Kopi Bayang wanted to show people how baristas with blindness can brew coffee for their customers. Available in three ways of brewing: Aeropress, V60 and Vietnam drip, the Kopi Bayang team could sell their product for as much as IDR 935,000. Kopi Bayang also received several opportunities to get involved in a short film and to sell their products during several events, including an event created by the Ministry of Cooperatives and SMEs of the Republic of Indonesia.

The Kopi Bayang team (left to right: Jery, Mudra, Gus De, and Iwan)

 

Netra Bali Merchandise by Juli and Rivan

Netra Bali Merchandise (NBM) is a business that focuses on environmentally friendly fashion from their materials and the printing process. Juli and Rivan also wanted to promote Balinese culture and scenery through the images printed on their t-shirts. NBM received IDR 600,000 from their sales on the showcasing day. Moreover, they also received some orders for custom-made t-shirts for groups, organisations, and companies.

 

The Annika Linden Centre staff introduces Bali Netra Merchandise before NBM’s pitch deck.

 

TAS by Namira by Namira

Namira learnt how to use a sewing machine from her school, one of the special needs schools in Denpasar, and proceeded to make fashion products for her school project. She made bags of calico fabric for her business and added colourful drawings using a hand-print method. The guests bought as many as 40 bags, allowing TAS by Namira to receive a total revenue of IDR 1,020,000. Moreover, some guests planned to order hundreds of Namira’s products to be rebranded using their guests’ company branding.

A photo of Namira's bag

The guests are looking at TAS by Namira.

 

 

Thank you to Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) and Citi Foundation for creating an impactful program for people with disability in Bali!

Berbicara tentang orang dengan disabilitas bukan berarti hanya sekedar merujuk pada keterbatasan yang dimilikinya. Disisi lain, sudah menjadi tugas bersama untuk menciptakan lingkungan yang inklusi bagi disabilitas, baik itu dari segi aksesibilitas maupun perlakuan yang didapat dari masyarakat sekitar. Hal ini tentunya juga bertujuan untuk menciptakan situasi yang aman dan perasaan yang nyaman ketika individu dengan disabilitas berada dilingkungan sekitarnya, terutama di ruang publik dengan berbagai stereotip (pandangan) yang melekat di masyarakat. Tentu ini bukan menjadi sebuah pertanyaan baru lagi mengapa usaha ini perlu ditegakkan. Selain tertuang dalam UU No.8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, semua manusia perlu menyadari bahwa setiap insan berpotensi dan memiliki resiko menjadi penyandang disabilitas, meskipun memang tiada satupun yang menginginkan hal tersebut terjadi.

Jika ditarik dari segi sosial, manusia seharusnya memiliki sifat tolong menolong, simpati, empati, dan toleransi terhadap sesama agar membentuk masyarakat yang harmonis sesuai norma yang berlaku. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa di era seperti saat sekarang masih banyak pihak - pihak yang masih memiliki stigma negatif dan berperilaku diskiriminatif terhadap disabilitas yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga banyak dari penyandang disabilitas yang menarik diri untuk tidak berpartisipasi di lingkungannya. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa dunia bukan lagi ruang yang aman bagi mereka untuk mengekspresikan diri.

Dalam tulisan ini, saya sebagai penulis yang juga merupakan seorang penyandang disabilitas daksa (fisik) mencoba memaparkan bagaimana lika - liku kehidupan dan reaksi masyarakat terhadap penyandang disabilitas berdasarkan pengalaman pribadi dalam 10 tahun belakangan ini. Tentunya dengan adanya tulisan ini dapat meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat agar tercipta ruang aman bagi disabilitas, baik dari perlakuan maupun aksesibilitas.

Keluarga merupakan lingkungan kecil yang paling dekat dan aman bagi sebagian besar orang, termasuk bagi disabilitas. Sebab, orang - orang terdekat yang disebut sebagai keluarga, terutama orang tua adalah mereka yang seharusnya dapat memahami dan juga pihak yang diharapkan dapat memberikan dukungan dalam kehidupan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, banyak yang lebih memilih untuk berdiam diri dirumah bersama keluarga daripada menghabiskan waktu berada diluar rumah karena dapat meminimalisir terjadinya hal - hal yang ditakutkan saat berada di ruang publik, seperti sekolah atau lingkungan kerja.

Lain halnya ketika seorang penyandang disabilitas berada di lingkungan publik yang dipenuhi oleh masyarakat dengan berbagai ragam pendapat dan pandangannya terhadap disabilitas. Beberapa hal yang pernah saya alami diantaranya adalah adanya pemikiran bahwa disabilitas adalah individu lemah yang tidak bisa melakukan kegiatan apapun, sehingga beberapa pihak berpendapat bahwa tidak diperlukannya partisipasi disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun faktanya adalah disabilitas tentu saja tetap dapat melakukan aktivitas dengan caranya sendiri layaknya masyrakat yang bukan disabilitas.

Perlakuan lainnya adalah rasa iba dari masyarakat terhadap disabilitas yang terkesan sangat berlebihan. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak buruk pada kondisi mental penyandang disabilitas sehingga dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri. Bukan berarti masyarakat tidak boleh menunjukkan rasa simpatinya, tetapi lakukanlah sewajarnya agar menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Menurut saya, sangat tidak mungkin jika disabilitas tidak membaur di lingkungan publik dalam waktu yang lama, karena manusia sebagai makhluk sosial tentunya juga membutuhkan individu lain dalam kehidupannya. Dengan demikian, saya tetap berusaha untuk bisa beradaptasi dan mendekatkan diri dengan masyarakat saat berada di lingkungan publik. Hal utama yang bisa saya lakukan ketika menghadapi perlakuan tersebut adalah saya harus memahami terlebih dahulu bahwa setiap manusia juga memiliki karakteristik yang berbeda - beda, sehingga nantinya akan timbul rasa saling menghargai.

Hambatan ini saya jadikan motivasi bahwa masih sangat diperlukannya usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap disabilitas. Faktor lain yang mempengaruhi terciptanya ruang aman bagi disabilitas adalah terkait ketersediaan aksesibilitas yang layak. Jika membahas tentang disabilitas, tidak hanya sebatas disabilitas fisik, tetapi juga mencakup ragam disabilitas lainnya yaitu disabilitas mental, intelektual, dan sensorik. Masing - masing ragamnya juga memiliki kebutuhan aksesibilitas yang berbeda - beda. Contohnya adalah disabilitas fisik yang membutuhkan bidang miring (ramp), disabilitas pendengaran yang membutuhkan juru bahasa isyarat, atau disabilitas penglihatan yang membutuhkan guiding block. Akan tetapi, ini masih menjadi salah satu hambatan umum yang kerap kali dihadapi oleh penyandang disabilitas.

Ketika mengunjungi fasilitas publik, sering dijumpai ketiadaan sarana yang aksesibel bagi disabilitas. Padahal, kenyamanan di tempat umum adalah hak bagi semua warga negara. Saya sering menemui penyandang disabilitas daksa dengan kursi roda yang kesulitan menuju lantai atas karena digedung tersebut tidak menyediakan bidang miring ataupun lift. Suatu ketika saya pernah menghadiri seminar yang mengikutsertakan penyandang disabilitas. Akan tetapi, ironinya adalah tidak adanya juru bahasa isyarat ataupun subtitle pada materi dan video yang disajikan pada kegiatan tersebut sehingga tentunya menjadi hambatan bagi disabilitas pendengaran untuk mengikuti rangkaian acara secara maksimal.

Selanjutnya, ketika lingkungan sudah menyediakan aksesibilitas yang layak bagi disabilitas, pertanyaan baru yang muncul adalah apakah fasilitas tersebut sudah dimanfaatkan dengan benar atau malah sebaliknya. Saat ini, sudah sering ditemui beberapa transportasi umum yang sudah menyediakan kursi khusus bagi penyandang disabilitas. Tak jarang, banyak orang bukan disabilitas yang justru menggunakan fasilitas tersebut, begitu juga dengan parkiran yang sering ditempati oleh pengendara yang bukan disabilitas. Hal lain yang sempat mencuri perhatian saya adalah ketika guiding block yang harusnya menjadi pengarah jalan bagi penyandang tuna netra yang sedang berjalan kaki, dialihfungsikan menjadi parkiran liar atau tempat berdagang.

Dengan adanya situasi - situasi tersebut tentunya menjadi catatan penting bagi disabilitas untuk mengetahui dan mencari tahu terlebih dahulu keadaan gedung atau lokasi yang hendak dikunjungi apakah sudah tersedianya aksesibilitas bagi disabilitas. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, menciptakan lingkungan yang inklusi membutuhkan peran dari seluruh masyarakat. Meskipun beberapa pihak sudah mulai melakukannya, saya berharap kebutuhan terhadap ruang ramah disabilitas tetap terus dikembangkan. Lingkungan yang inklusi dapat membantu disabilitas dalam berkreasi dan berinovasi tanpa adanya batasan, sehingga mematahkan stigma negatif terhadap disabilitas dan lambat laun akan terwujudnya kehidupan yang setara.

Tentang penulis: Febrianti Syafitri atau biasa dipanggil Fitri adalah seorang penyandang disabilitas fisik yang mengalami kecelakaan pada tahun 2012 lalu sehingga mengharuskan untuk menjalani amputasi kaki kiri hingga atas lutut. Perempuan kelahiran 17 Februari 1997 ini menggunakan alat bantu berupa prostetik (kaki palsu) dalam berkegiatan sehari menulis dan membaca karya sastra. Meskipun memiliki keterbatasan, ia tetap semangat dalam berkarya karena baginya hidup adalah petualangan dan banyak hal menarik yang bisa dilakukan. Saat ini, ia juga aktif bergabung dalam organisasi disabilitas di Kota Padang dengan harapan bisa ikut berperan membantu mewujudkan lingkungan yang inklusi dan ramah disabilitas.

Gangguan Spektrum Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya perbedaan cara kerja otak dibandingkan individu non disabilitas sehingga menimbulkan berbagai kesulitan seperti kesulitan berkomunikasi, kesulitan bersosialisasi dan kesulitan membaca gerakan non-verbal yang diberikan orang lain terhadap individu tersebut. Contoh, saya kesulitan untuk membaca ekspresi ibu saya pada saat dia marah ke saya dan baru mengetahuinya pada saat dia sudah menyatakan secara verbal bahwa ia sedang marah. Sedangkan Narkolepsi adalah gangguan langka yang terjadi pada saraf yang mempengaruhi siklus tidur individu sehingga individu tersebut kesulitan menahan kantuk, dapat tertidur sewaktu waktu secara mendadak, dan merasakan kelelahan yang berlebih sepanjang hari walaupun waktu tidurnya sudah cukup. Saya sudah memiliki diagnosis resmi dari dokter untuk 2 gangguan tersebut. Berdasarkan hal yang saya pelajari, disabilitas ganda yang saya miliki keduanya masuk kategori disabilitas tidak terlihat.

Sayangnya, walaupun sudah memiliki diagnosis untuk 2 gangguan tersebut, reaksi yang ditunjukkan masyarakat sekitar adalah bahwa mereka masih sulit mempercayai bahwa saya memiliki disabilitas. Masyarakat non disabilitas tersebut masih berpikir bahwa disabilitas itu harus yang menggunakan kursi roda, tongkat, memiliki bagian tubuh yang terlihat kurang, atau ciri ciri lain yang terlihat.

Ada juga yang menolak untuk mengakui kevalidan dari disabilitas saya, mereka berpikir bahwa ketidakpekaan saya terhadap bahasa non verbal, kesalahpahaman dalam memahami satire dari orang lain, kesulitan saya menentukan intonasi yang pas pada saat memanggil orang lain, kelakuan saya yang tampak tidak sopan karena saya tiba tiba mengantuk kemudian tertidur pada saat orang lain berbicara, kekakuan badan yang terjadi pada saat emosi saya terlalu memuncak atau terlalu menurun, mereka mengatakan bahwa semua hal tersebut terjadi karena saya yang mengada adakan hal tersebut dan hal tersebut bukanlah disabilitas. Terlepas dari anggapan yang terkadang menyakitkan hati tersebut, saya masih bisa memakluminya karena mereka adalah masyarakat biasa.

Sayangnya, anggapan bahwa disabilitas adalah orang yang bagian tubuhnya ada yang terlihat menghilang dan perlakuan orang yang tidak ingin mengakui kedisabilitasan saya bukan hanya terjadi pada masyarakat awam. Anggapan tersebut juga terjadi pada para ahli yang sering terlibat dengan individu disabilitas seperti dokter, psikolog, dan para ahli lainnya. Mereka mereka yang memegang wewenang untuk membuat kedisabilitasan seseorang menjadi resmi.

Anggapan dari para ahli yang menolak untuk mengakui disabilitas yang saya miliki jauh lebih menyakitkan dibandingkan jika yang melakukannya adalah orang awam non disabilitas. Hal tersebut pernah terjadi kepada saya. Kejadian pertama adalah pada saat saya meminta surat keterangan disabilitas kepada dokter untuk keperluan beasiswa dan kedua adalah pada saat saya meminta surat sakit kepada dokter karena saya sakit akibat narkolepsi yang saya miliki. Saat itu saya sudah mencoba menjelaskan, menunjukkan isi kertas yang ada pada UU No 8 tahun 2016 yang mencantumkan bahwa disabilitas tidak harus yang terlihat.

Kedua dokter tersebut juga sama sama sudah saya tunjukkan diagnosis penyakit yang saya miliki baik autisme maupun narkolepsi sebagai bukti penguat bahwa saya tidak berbohong. Namun dokter dokter itu sama sama menolak untuk mengakui kedisabilitasan saya. Mereka sama sama memiliki pandangan bahwa disabilitas haruslah ada kehilangan fungsi tubuh tertentu yang dapat dilihat oleh mata. Parahnya lagi, dokter yang kedua tidak menganggap narkolepsi itu penyakit. Dokter pada kejadian pertama tidak memberikan surat keterangan disabilitas, dokter pada kejadian kedua tidak memberikan surat keterangan sakit. Pada akhirnya saya mencari dokter lain untuk mendapatkan hal yang saya butuhkan.

Adanya perbedaan antara definisi disabilitas secara teoritis yang tertulis pada aturan terbaru dengan definisi disabilitas praktikal yang diimplementasikan oleh masyarakat adalah fenomena lapangan yang saya tangkap dari kejadian kejadian yang sudah saya alami. Tentunya, kejadian yang sudah saya lalui tersebut membuat saya mempertanyakan kembali mengenai identitas disabilitas yang saya miliki. Selain itu, saya merasa bahwa disabilitas tidak terlihat yang saya miliki tidak dianggap oleh masyarakat. Lebih parahnya lagi, disabilitas yang saya miliki seperti disabilitas yang asing dan terabaikan bahkan diantara para individu maupun komunitas disabilitas lain yang identitas disabilitasnya lebih diakui oleh masyarakat.

Lalu, tindakan apa yang saya lakukan untuk menghadapi perlakuan tidak enak tersebut? Tentu saja saya harus mengenal diri saya, termasuk kondisi disabilitas saya. Dengan pemahaman saya mengenai kondisi saya, saya berharap bisa memberi penjelasan yang mudah dimengerti sehingga lebih banyak masyarakat yang teredukasi. Selain itu dengan mengenali kondisi disabilitas saya sama saja dengan memperbesar peluang saya untuk memaksimalkan potensi yang saya punya. Pada saat potensi saya lebih maksimal, saya bisa berbaur dengan lebih banyak masyarakat dan masyarakat lebih memandang saya. Pada saat masyarakat lebih memandang saya otomatis mereka akan lebih mendengarkan perkataan saya, lebih banyak juga masyarakat yang akan mendengarkan saya pada saat saya berbicara, termasuk apabila saya sedang mencoba mengedukasi orang lain tentang disabilitas.

Agar masyarakat lebih menyadari keberadaan disabilitas tidak terlihat, saya mengajak para individu dengan disabilitas tidak terlihat agar lebih mengenali disabilitas yang mereka miliki, memaksimalkan potensi diri agar menjadi individu yang lebih dipandang masyarakat dan lebih berani menyuarakan identitas disabilitas mereka. Selain itu untuk para ahli maupun masyarakat yang terlibat langsung dengan orang disabilitas dengan frekuensi bertemu yang cukup sering, tolong perbarui kembali pengetahuan yang dimiliki mengenai disabilitas. Pelajari mengenai UU No 8 tahun 2016, pelajari juga mengenai pengetahuan terbaru mengenai disabilitas yang ada di mancanegara. Jangan terfokus pada paradigma bahwa disabilitas hanya untuk orang orang yang ada kata tuna di depannya atau hanya terfokus pada pandangan bahwa disabilitas haruslah hal yang terlihat.

Arti disabilitas yang sekarang lebih luas dibandingkan itu. Contoh, orang dengan penyakit kronis bisa dianggap disabilitas asal memiliki kekurangan yang mempengaruhi secara fisik maupun mental sehingga kekurangan tersebut membuat orang tersebut kesulitan untuk menjalankan kehidupan sehari hari. Dengan beraninya para individu dengan disabilitas tidak terlihat untuk menyuarakan mengenai disabilitasnya dengan cara yang tepat, stigma yang sudah terjadi terhadap individu dengan disabilitas tidak terlihat akan berkurang. Dengan adanya pengetahuan yang sudah diperbarui oleh para ahli yang aktif berurusan dengan individu dengan disabilitas mengenai definisi dari disabilitas maka akan muncul kebijakan yang lebih inklusif untuk semua pihak, baik itu untuk individu dengan disabilitas, individu non disabilitas, individu dengan disabilitas yang terlihat maupun individu dengan disabilitas yang tidak terlihat.

Tentang penulis: Perkenalkan saya Rahmat Fahri Naim. Saya lahir di Surabaya, dan sekarang tinggal di Bekasi. Saya memiliki Gangguan Spektrum Autisme sejak lahir dan Gangguan Narkolepsi yang terjadi sejak tahun 2017.

Jakarta, 6 Desember 2022 - Penyandang disabilitas dinilai sebagai pihak yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan kaji cepat jaringan organisasi disabilitas, 80,9 persen responden disabilitas di Indonesia terdampak pandemi dari sisi komunikasi, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Survey ini melibatkan 1.683 responden dari beragam jenis disabilitas dari 216 Kota/Kabupaten pada 32 Provinsi di Indonesia pada 10-24 April 2020 lalu (ppdi, 2020).

Salah satu sisi yang terdampak yakni sisi Komunikasi sebagai aspek penting bagi manusia untuk bersosialisasi terutama di dunia kerja. Setiap penyandang disabilitas mempunyai cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berbeda. Teman Tuli mengoptimalkan organ penglihatan untuk mengidentifikasi subjek dan objek, sedangkan teman netra memaksimalkan kemampuan audio. Disisi lain, disabilitas ganda juga memiliki cara berkomunikasi tersendiri untuk memahami sebuah pesan.

Oleh karena itu meyakinkan para pemberi kerja dan perekrut tenaga kerja bahwa memahami cara komunikasi yang tepat akan dapat menciptakan komunikasi efektif di dunia kerja. Memahami cara komunikasi dengan penyandang disabilitas juga dapat menjadi langkah awal untuk membangun percaya diri merekrut penyandang disabilitas menjadi bagian dari perusahaan/organisasi. Sehingga, mereka yang semula belum yakin merekrut penyandang disabilitas menjadi siap rekrut dan bekerja bersama disabilitas.

Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional tahun 2022, Suarise bersama Hear Me dan DNetwork Jaringan Kerja Disabilitas kembali menyelenggarakan Webinar Disability Confident Employer bertajuk Effective communication for employer to employee with disability atau Komunikasi Efektif untuk Pengusaha kepada para Pekerja Disabilitas. Acara ini merupakan sebuah wadah yang mempertemukan ekspektasi para pemberi kerja dengan kebutuhan dunia industri untuk meningkatkan peluang kerja bagi disabilitas.

Best Practise Komunikasi Efektif dengan Tenaga Kerja Disabilitas

Acara yang diperuntukkan bagi praktisi HR, perekrut tenaga kerja, pendiri perusahaan, komunitas disabilitas, dan peminat isu disabilitas ini menghadirkan perwakilan pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, perusahaan lokal dan multinasional, serta perwakilan organisasi internasional. Kehadiran mereka menjadi referensi best practices dalam mewujudkan komunikasi efektif dalam proses merekrut tenaga kerja disabilitas mulai dari tahap perekrutan dan wawancara, tahap onboarding (magang), hingga daily communication (komunikasi sehari-hari).


Perwakilan dari Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yakni Koordinator Bidang Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Sekar Pratiwi Adji menjelaskan bahwa isu disabilitas merupakan salah satu isu prioritas pemerintah dalam KTT G20 yang menghasilkan dokumen action plan market integration of present with disability. “Saya berharap dengan momentum dan komitmen hasil G20 Presidensi Indonesia, maka implementasi ULB bidang ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat meningkatkan dan memperkuat layanan pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Kemudian perusahaan, BUMN/BUMD dapat semakin meningkatkan penempatan tenaga kerja disabilitas sesuai kota penempatan amanat UU No.8 tahun 2016,” jelas Sekar.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia memaparkan peran komisi nasional disabilitas (KND) dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas serta mengingatkan pentingnya aspek komunikasi bagi penyandang disabilitas. “Penting untuk menghapuskan stigma terhadap penyandang disabilitas. Kedua kesadaran penuh bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang sama terlepas dari kondisi disabilitas atau non disabilitas. Ketiga, menciptakan kesempatan bagi penyandang disabilitas yang akan bermanfaat bagi semua orang. Keempat, memastikan pelibatan individu maupun kelompok serta organisasi disabilitas. Ada slogan dari kami Nothing is about us without us. Kami berharap pelibatan kami dalam proses pembangunan mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” paparnya.

Pada sesi mengenai rekrutmen dan wawancara pekerja disabilitas, Human Capital Director Bank Danamon, Heriyanto Agung Putra menegaskan bahwa Disabilitas merupakan isu lintas sektoral yang membutuhkan perhatian seluruh stakeholder, seperti pemerintah, industri, lembaga masyarakat, dan sektor lainnya.
“Untuk itu, di sisi SDM, salah satu strategi yang kami lakukan adalah mengelompokan unit-unit kerja yang mungkin part (menjadi bagian) pemberdayaan pekerja dengan keterbatasan fisik itu dengan menempatkan pegawai dengan disabilitas fisik di area-area seperti middle office, back-office, dan IT. Justru (penempatan mereka) kuat disana kualitasnya karena kondisi pekerjaan tersebut lebih mendukung”, tegas Heri.

Disisi lain, Wisnu Saputra, Project Manager DNetwork lebih menekankan pentingnya melakukan konfirmasi kebutuhan akomodasi kepada calon pegawai disabilitas, khususnya pada saat tahap interview.“Kalau saya (mengarahkan) ke perusahaan, Saya akan menomorsatukan akomodasi. Apakah perusahaan bisa menyediakan akomodasi yang diminta dan diinginkan agar karyawan bisa bekerja dengan baik. Kalau misalnya (penyediaan) akomodasi ini tidak bekerja (berjalan dengan baik), perubahan responsibility akan menjadi pilihan terakhir,” tuturnya.

Sebagai pegawai yang berlatar belakang teman tuli, Novita Pangestika, administrasi (outsourching) Bank Mandiri menyampaikan pengalamannya pada saat interview. Kala itu Novita mengalami ketiadaan juru bahasa isyarat, karena perusahaan mulanya menganggap bahwa disabilitas tidak membutuhkan pendamping.
“Pada saat itu bisa komunikasi (dengan teman tuli) dengan cara menulis. Komunikasinya pelan-pelan. Kalau tidak tahu, minta diulang saja. Setelah saya diterima dan melalui training, dari pihak perusahaan memberikan fasilitas JBI,” ungkapnya.

Sesi pertama ini menyimpulkan agar setiap organisasi/perusahaan untuk tidak berasumsi. Sebaliknya mereka diajak untuk selalu membuka ruang komunikasi khususnya mengenai kebutuhan komunikasi dan cara komunikasi yang baik dengan teman-teman disabilitas. Dalam pembukaan lowongan kerja, setiap organisasi/perusahaan juga diharapkan dapat memastikan sisi aksesibilitas digital (diantaranya keterbacaan, alt-text, kontras warna) terpenuhi mengakomodasi perbedaan ragam disabilitas. Selanjutnya pada sesi Onboarding, Project Manager Suarise, Theresia Suganda menegaskan bahwa proses ini penting dilakukan untuk dapat memastikan bahwa lingkungan kerja yang akan dimasuki oleh tenaga kerja difabel benar-benar siap merangkul mereka. “Pengalaman kami memfasilitasi on boarding bagi talents tunanetra Suarise, kami menemukan banyak ketidaktahuan perusahaan misalnya apakah harus menyediakan laptop khusus untuk tunanetra? Sebaliknya, para talents juga ada pertanyaan mengenai apakah harus bekerja dari kantor atau bisa dari rumah? Pertanyaan ini mendasari kami melakukan asesmen kepada perusahaan dengan memberi pertanyaan seputar penempatan kerja, learning buddy, hingga tools khusus dalam koordinasi kerja, baru kemudian disesuaikan dengan para talents.”

Perspektif berbeda datang dari I Made Wikanda, teman netra yang bekerja sebagai Disability Inclusion Officer dari UNICEF. Menurut Wikan, proses onboarding sangat krusial untuk menjamin tenaga kerja difabel dapat berperan aktif dan berkontribusi dalam perusahaan. “Kalau di UNICEF proses onboarding dilakukan secara inklusif dengan menyediakan fasilitas, akomodasi, dan lingkungan yang bisa menciptakan kontribusi dari difabel. Pada akhirnya (tenaga kerja) difabel bukan sekadar angka, tapi lebih kepada bagaimana mereka bisa berperan aktif, meaningfully engage, atau terlibat dalam proses pekerjaan dan bisa berkembang dalam karier, ujar Wikan”. Sesi ini mengajak agar perusahaan/organisasi berkontribusi membuat produk digital yang dapat diakses bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Inklusi merupakan sebuah proses menciptakan lingkungan dan interaksi antar individu yang hangat, terbuka, dan akomodatif bagi siapapun, terlepas dari latar belakang, ras, etnis, agama, ataupun jenis disabilitas yang dimiliki.

Kemudian pada sesi Daily Communication, teman netra sekaligus Heads of Engagement Think Web, M Reza Akbar menyatakan bahwa tantangan terbesar komunikasi baginya terjadi pada awal bergabung dalam perusahaan. Mulanya ia merasa komunikasi agak kaku, tetapi ia yakin bahwa dengan membuat dirinya proaktif akan jauh lebih mencair. “Enggak usah ada batasan dalam komunikasi, anggap sama saja. Hal tricky saat zaman mulai online, kadang saat komunikasi via chat mereka suka lupa kirim screenshot. Saya selalu ingetin ‘wah dark jokes, saya kan tunanetra (sambil bercanda).’ Sehingga saya perlu mengedukasi temen-temen supaya lebih fleksibel komunikasi sama tunanetra,” ungkap Ega.

Tine E Efendi VP of Customer Satisfaction Management Bukalapak menuturkan bahwa dari pihak perusahaan, khususnya pegawai nondifabel saat bertemu dengan pegawai difabel merasa ada ketakutan pada awalnya. Namun rasa penasaran yang tinggi membuat mereka tergerak untuk mencari tahu sendiri bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan rekan kerja difabel. “Awalnya takut, tapi lama-kelamaan bisa ngobrol dan akhirnya bisa terlibat. Jadi jangan takut untuk memulai, misalnya terlalu takut kalau ada difabel nanti harus menyediakan fasilitas, bagaimana cara berkomunikasinya yang akhirnya bikin kita tidak mulai-mulai. Kami lakukan dulu aja karena kami punya believe.”

Ivan Octa Putra Head of Branding Hear Me sekaligus teman tuli menambahkan bahwa cara berkomunikasi efektif dengan dirinya kepada rekan kerja dimulai dengan mengajari bahasa isyarat dasar, dan jika masih belum paham bisa bertukar teks. Setelah itu baru diajari budaya tulinya, dan diajari terus-menerus, hingga lama-lama berkembang menggunakan bahasa isyarat lebih baik. “Umumnya teman dengar menggunakan bahasa tinggi, biasanya kami minta tolong agar bahasanya lebih sederhana. Kalau ada bahasa Inggris atau istilah bisnis kami akan bertanya maksudnya apa. Kemudian, Ada beberapa teman tuli komunikasi menggunakan chat panjang kurang bisa dipahami. Kalau begitu, kami biasanya menggunakan video call, dijelaskan ulang dan jauh lebih paham.”

Sebagai solusi untuk menciptakan komunikasi efektif, Senior Product Desain Lead salah satu e-commerce sekaligus seorang disleksia, Dian Soraya memiliki tips tersendiri. Aya memandang bahwa cara berkomunikasi setiap orang seperti spektrum, memiliki perbedaan satu sama lain, meskipun orang tersebut bukan seorang difabel.
“Saya punya kebijakan personal user manual. Saya minta setiap orang membuat manual diri masing-masing sebagai manusia. Saya buat pointers: style kerja, value, kesulitan, dan how to make best communication with you? Kemudian bagaimana saya bisa membantu dia, dan apa yang sering orang lain salah artikan terhadapnya. Sehingga setiap orang punya ruang tentang dirinya dan bisa saling mengisi kelebihan dan kekurangannya. Jadi kita tahu What is the best way to approach you,” jelasnya.

Sebagai sesi penutup, komunikasi antara teman disabilitas maupun non disabilitas memerlukan interaksi dua arah. Teman non disabilitas diharapkan lebih aware dengan menegur maupun menyapa terlebih dulu. Sebaliknya teman disabilitas dapat lebih proaktif atau mengungkapkan atau berani speak up sehingga komunikasi sehari-hari tersebut dapat berjalan dengan baik.

Tentang Penyelenggara


Kegiatan ini diselenggarakan oleh Suarise, Hear Me, dan DNetwork untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2022.

Suarise adalah perusahaan sosial independen yang fokus mempromosikan yang memungkinkan kesamaan akses dan kesempatan bagi orang-orang dengan gangguan penglihatan (tunanetra) di industri digital dan platform online. Sejak didirikan pada 2017, Suarise menyediakan tiga layanan utama. Pertama, memberikan pelatihan vokasi terkait teknologi digital bagi tunanetra dan low vision agar dapat bekerja secara independen maupun sebagai tenaga tetap dalam perusahaan. Kedua, Suarise membuka konsultasi dan riset aksesibilitas digital, serta persiapan onboarding bagi perusahaan yang akan mempekerjakan disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision. Ketiga, Suarise menyediakan jasa penulisan konten digital yang dilakukan para talents Suarise tunanetra dan low vision.

Hearme merupakan sosial startup yang menyediakan aplikasi penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) pertama dengan tampilan 3D animasi untuk menjembatani komunikasi antara Teman Tuli dan Teman Dengar. Selain aplikasi, berbagai inovasi dan terobosan terus dilakukan untuk misi mendukung terciptanya ekosistem yang inklusif. Pada tahun 2022, Hear Me melakukan pengembangan produk untuk memberikan layanan masyarakat dengan menyediakan akses fasilitas yang ramah Tuli baik di fasilitas umum maupun tingkat korporasi dengan empat layanan yang sediakan yaitu, Layar Informasi Bahasa Isyarat, JBI Corporate, Layar Voice to Motion, dan Konten Video Animasi/Juru Bahasa Isyarat.

DNetwork adalah organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi penyandang disabilitas di Indonesia melalui kesempatan kerja. DNetwork menyediakan dua layanan utama. Pertama bagi para pencari kerja, DNetwork memberikan informasi kerja, pelatihan keterampilan dan profesionalisme untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan para pencari kerja, serta konsultasi pengembangan pribadi dan karir sesuai dengan minat dan kemampuan. Kedua bagi perusahaan, DNetwork membuka lowongan kerja untuk penyandang disabilitas, menyediakan konsultasi tentang bekerja dengan para penyandang disabilitas sebagai bagian dari persiapan perusahaan untuk bekerja dengan para penyandang disabilitas, serta melakukan diskusi dan pendampingan proses rekrutmen berdasarkan permintaan perusahaan dan ketersediaan Tim DNetwork.

Kalian yang pernah melamar pekerjaan, pernah membaca atau mendengar kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani" dalam persyaratan pekerjaan? Atau justru kalian pernah membuka lowongan pekerjaan dengan menggunakan kalimat "Sehat Jasmani dan Rohani"?

 

 

Tau ga kalian kalau ternyata persyaratan "Sehat Jasmani dan Rohani" dapat bersifat diskriminatif terumata bagi pelamar dengan disabilitas loh!

Gaol (2020) dalam penelitiannya mengatakan kalau hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam tahap rekrutmen tenaga kerja, di mana sehat jasmani dapat diartikan sebagai "keadaan fisik tanpa menyandang disabilitas tertentu".

Gaol (2020) juga menambahkan kalau persyaratan ini cukup bermasalah karena dapat menimbulkan banyak arti bagi pembacanya. Kebanyakan pembaca akan mengartikan "Sehat Jasmani dan Rohani" sebagai kondisi yang "sempurna" yang berujung berkurangnya akses masuk kerja bagi temen temen disabilitas.

 

Gambar berisi cuplikan berita dari kompas.com mengenai seorang dokter gigi yang

 

Cerita serupa muncul di tahun 2019 di mana seorang Dokter Gigi yang sudah dinyatakan lulus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, harus tidak diluluskan hanya karena Beliau adalah seorang pengguna kursi roda. Jangan sampai cerita ini berulang lagi ya!

 

Reference:

Gaol, H. S. L. (2020). Syarat sehat jasmani sebagai diskriminasi tenaga kerja difabel. INKLUSI, 7(2), 207. https://doi.org/10.14421/ijds.070202